Generasi
terdahulu umat Islam dari kalangan Sahabat dan Tabi’in kata Syaikhul
Islam Ibnu Taymiyah selalu berkumpul untuk tilawah dan saling menyimak
Al-Qur’an dalam rangka menata hati dan mensucikan jiwa mereka.
Rumah-rumah mereka, khususnya di bulan Ramadhan, berdengung tak ubahnya
lebah-lebah, terpancari sinar, bertabur kebahagiaan. Mereka membaca
Al-Qur’an dengan tartil, berhenti sejenak pada ayat-ayat yang membuat
mereka ta’jub, menangis di kala mendengar keindahan nasehat-nasehatNya,
gembira dengan kabar kebahagiaan. Mereka mentaati perintahNya
sebagaimana menjauhi laranga-Nya.
Dan
ternyata makna qiro’ah – tilawah – tadarus – tadabur memiliki makna
yang berbeda-beda aplikasinya dalam menyikapi Al Qur’an sebagai kitab
suci bagi umat muslimin ini. Lantas apa perbedaannya ? apa saja
definisi-definisinya ? Nah, mari kita tinjau sejenak bersama-sama.
Kata “tilawah” dengan berbagai derivasi dan variasi maknanya dalam Al-Qur’an terulang/disebutkan sebanyak 63 kali. Kata tilawah ini dalam beberapa kitab seperti dalam al-Mishbah al-Munir fi Gharib al-Syarh al-Kabir, Al-Shahib Ibn ‘Ibad dalam al-Muhith fi al-Lughah, Ibnu Mandhur dalam Lisan al-‘Arab, dan dalam Mukhtar al-Shihah, secara leksial/harfiah mengandung makna “bukan sekedar” membaca (qiro’ah).
Hemat
kata, tilawah dapat diartikan sebagai pembacaan yang bersifat spiritual
atau aktifitas membaca yang diikuti komitmen dan kehendak untuk
mengikuti apa yang dibaca itu. Sedangkan qiro’ah dapat dimaknai sebagai aktifitas membaca secara kognitif atau kegiatan membaca secara umum, sementara tilawah adalah membaca sesuatu dengan sikap pengagungan. Oleh karena itu, dalam Al Qur’an kata tilawah sering digunakan daripada kata qiro’ah dalam konteks tugas para Rasul ‘alaihimussalam.
Syaikh Ibnu Utsaimin dalam kitabnya Majalis Syahr Ramadlan menguraikan cakupan makna tilawah dalam dua macam :
- Tilawah hukmiyah, yaitu membenarkan segala informasi Al Qur’an dan menerapkan segala ketetapan hukumnya dengan cara menunaikan perintah-perintahNya dan menjauhi larangan-laranganNya.
- Tilawah lafdziyah, yaitu membacanya. Inilah yang keutamaannya diterangkan oleh Rasulullah s.a.w. dalam hadits Bukhari: خَيرُكُم مَنْ تعَلَّمَ القُرآنَ وعَلَّمَه; sebaik-baiknya diantara kamu adalah yang belajar Al Qur’an dan yang mengajarkannya”.
Adapun kata tadarus berasal dari kata (darosa) yang berarti membaca (qiro’ah) atau berlatih dan selalu menjaga (الرياضة والتعهد للشيئ). Ketika ada imbuhan huruf ta’ dan alif pada kata darasa, maka maknanya berubah menjadi ‘saling membaca’. Dari sinilah kita kenal kata “tadarus” atau “mudarasah“.
Sehingga dua kata ini dapat diartikan “membaca, menelaah, dan
mendapatkan ilmu secara bersama-sama, di mana dalam prosesnya mereka
sama-sama aktif”. Hal ini diisyaratkan dalam firman Allah s.w.t. di Ali
‘Imran:79مَا كَانَ
لِبَشَرٍ أَنْ يُؤْتِيَهُ اللَّهُ الْكِتَابَ وَالْحُكْمَ وَالنُّبُوَّةَ
ثُمَّ يَقُولَ لِلنَّاسِ كُونُوا عِبَادًا لِي مِنْ دُونِ اللَّهِ وَلَكِنْ
كُونُوا رَبَّانِيِّينَ بِمَا كُنْتُمْ تُعَلِّمُونَ الْكِتَابَ وَبِمَا
كُنْتُمْ تَدْرُسُون;
tidak wajar bagi manusia yang Allah berikan kepadanya Al Kitab, hikmah
dan kenabian, lalu dia berkata kepada manusia: “Hendaklah kamu menjadi
penyembah-penyembahku bukan penyembah Allah.” Akan tetapi (dia berkata):
Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu
mengajarkan Al Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya”.
Sampai disini dapat dipahami bahwa, mudarasah atau tadarus merupakan sebuah proses atau mekanisme untuk melakukan tadabur Al Qur’an.
Sedangkan kata “tadabbur” sendiri terdapat diantaranya dalam QS. An Nisaa’ ayat 82, secara leksikal/harfiah tadabbur
mengandung beberapa filosofi makna, yakni: refleksi (reflection),
meditasi (meditation), berfikir (thinking), pertimbangan (consideration)
dan perenungan (contemplation). Mencermati rangkaian makna terbaca,
kata ini memiliki makna integral dalam konteks kecerdasan manusia;
intelektual, spiritual dan moral. Itulah kemungkinan yang dapat kita
tangkap mengapa Al-Qur’an menggunakan kata tadabbur.
Interaksi yang Produktif
Agar visi tadarus/mudarasah Al-Qur’an tercapai dengan baik maka, perlu memperhatikan beberapa hal di bawah ini :
Pertama, memiliki pandangan integral terhadap Al-Qur’an. Al-Qur’an merupakan dustur Ilahi yang menata dan mengarahkan kehidupan.
Kedua, pembacaan, tadabbur dan mencermati secara mendalam. Bagian ini terwujud dengan dua hal pula :
a) verifikasi pemahaman dan ilmu kita tentang al-Qur’an.
أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآَنَ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللَّهِ لَوَجَدُوا فِيهِ اخْتِلَافًا كَثِيرً ; maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran? Kalau kiranya Al Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya). (QS. An Nisaa’:82)
أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآَنَ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللَّهِ لَوَجَدُوا فِيهِ اخْتِلَافًا كَثِيرً ; maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran? Kalau kiranya Al Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya). (QS. An Nisaa’:82)
b)
aktualisasi ajaran al-Qur’an dalam lapangan kehidupan nyata, bukan
sekedar pengetahuan wacana dan bersifat kognitif belaka; baik pada
tataran pribadi, keluarga dan masyarakat. Ini berarti al-Qur’an menjadi
kode etik kehidupan kita.
Ketiga, memegang komitmen yang baik tentang manhaj talaqqi.
Artinya, menancapkan dalam sanubari kita serta merasakan ‘seolah-olah’
Al-Qur’an diturunkan kepada kita dan kita berdialog aktif dengannya.
Fungsi serta Manfaat Mudarasah dan Tadabbur
- Sarana dan media untuk menambah ilmu. Tentunya, dengan melakukan mudarasah secara bersama-sama dengan orang lain semakin menambah cakrawala keilmuan kita. Ingat, Rasulullah s.a.w. selalu rajin mempelajari Al-Qur’an dan mencermati ayat-ayatnya, sehingga beliau mengetahui dengan sempurna maksud dan maknanya dengan tadarus/mudarasah bersama Jibril ‘alaihissalam.
- Membantu proses menjaga Al-Qur’an yang telah kita kuasai serta tidak mudah lupa dan lalai.
- Memupuk dan membina rasa persaudaraan dan rasa sepenanggungan sesama muslim. Dengan demikian, Islam telah melakukan proses pendidikan nalar kolektif dan etika bersama; kita membangun karakter yang kuat.
- Sebagai sarana dan media tazkyatun nufus, mensucikan jiwa.
- Mendatangkan rahmat dan ketenteraman bagi umat.
- Memperbaiki kualitas tilawah. ورتل القرآن ترتيلا; Dan bacalah Al Quran itu dengan perlahan-lahan). (Al Muzzammil:4)
Akhiru kalam, tetap semangat, tetap bergairah, dan tetap istiqomah dalam membumikan Al Quran.
Walahu a’lam
*) H. Fathurrahman Kamal (MTDK PP Muhammadiyah)