Jumat, 09 Agustus 2013

ILMU KALAM (ALIRAN JABARIYAH)

Makalah ini disusun guna memenuhi tugas Ilmu Kalam
Dosen Pengampu : Dr. Toto Suharto S.Ag., M.Ag,.

Disusun Oleh :
Lia Kristina (11.31.11.210)
Margi Wahyunto (11.31.11.236)
Muhammad Luthfie R (11.31.11.240)
Muhammad Iqbal T (11.31.11.239)


FAKULTAS TARBIYAH DAN BAHASA
JURUSAN TARBIYAH
PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SURAKARTA
2013

BAB I
PENDAHULUAN
Permulaan dari perpecahan umat Islam, boleh dikatakan sejak wafatnya Nabi. Tetapi perpecahan itu menjadi reda karena terpilihnya Abu Bakar menjadi khalifah. Demikianlah berjalan masa-masa kekhalifahan Abu Bakar, Umar, dalam kubu persatuan yang erat dan persaudaraan yang mesrah. Dalam masa ketiga khalifah itulah dipergunakan kesempatan yang sebaik-baiknya dan mengembangkan Islam keseluruh alam. Tetapi setelah Islam luas kemana-mana tiba-tiba diakhir khalifah Utsman, terjadi suatu cedera yang ditimbulkan oleh tindakan Utsman yang kurang disetujui oleh pendapat umum.
Inilah asalnya fitnah yang membuka kesempatan untuk orang-orang yang lapar kedudukan meruntuhkan pemerintahan
Utsman. Semenjak itulah berpangkalnya perpecahan umat islam sehingga menjadi beberapa partai atau golongan dan memunculkan perbedaan pendapat.
Perbedaan tersebut tampak melalui perdebatan dalam masalah  kalam yang ahirnya menimbulkan berbagai aliran - aliran dalam Islam. Dalam perdebatan tentang teologi ini, akhirnya menimbulkan berbagai macam aliran diantaranya seperti Khawarij, Syiah, Murji’ah, Mu’tazilah, Jabariyah dan Qodariyah serta aliran-aliran lainnya.
Pada pembahasan kali ini pemakalah akan menjelaskan tentang aliran Jabariyah dengan beberapa sub pembahasan berupa:
A.    Pengertian Jabariyah
B.     Sejarah Kemunculan Jabariyah
C.     Pemuka Jabariyah serta Doktrin-doktrin mereka




BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Jabariyah
Dalam kamus Munjid dijelaskan bahwa nama Jabariyah berasal dari kata jabara (جَبَرَ) yang mengandung arti memaksa dan mengharuskannya melakukan sesuatu. Kalau dikatakan Allah mempunyai sifat Al-jabbar (dalam bentuk mubalaghah), artinya Allah Maha Memaksa. Ungkapan al-ihsan majbur (bentuk isim maf’ul) mempunyai arti bahwa manusia dipaksa atau terpaksa. Selanjutnya kata jabara (bentuk pertama), setelah ditarik menjadi jabariyah (dengan menambah ya nisbah, artinya adalah suatu kelompok atau aliran (isme) Sedangkan secara istilah Jabariyah adalah menolak adanya perbuatan dari manusia dan menyandarkan semua perbuatan kepada Allah. Dengan kata lain adalah manusia mengerjakan perbuatan dalam keadaan terpaksa (majbur).[1] Menurut Ahmad Warson Munawwir (1997: 164) al-jabriyyu (الجَبْرِيُّ) mempunyai makna al-ilzamiyyu (الاِلْزَمِيُّ) yaitu secara paksa. sedangkan Jabariyyah sendiri dimaknai sebagai aliran yang berfaham tidak adanya ikhtiar.
Sementara itu, Nu’am Abbas dalam Nawir Yuslem juga mengatakan bahwa “kata jabariyah dijadikan sebagai suatu nama sekte atau faham keagamaan dalam Islam disebabkan sekte ini mempunyai doktrin bahwa manusia itu didalam keterpaksaan. Manusia menurut pandangan mereka ibarat wayang yang dimainkan oleh sang dalang. Manusia dalam aktifitas hidupnya telah ditetapkan atau ditakdirkan oleh Allah.[2]
Menurut Harun Nasution, Jabariyah adalah paham yang menyebutkan bahwa segala perbuatan manusia telah ditentukan dari semula oleh Qadha dan Qadar Allah. Maksudnya adalah bahwa setiap perbuatan yang dikerjakan manusia tidak berdasarkan kehendak manusia, tapi diciptakan oleh Tuhan dan dengan kehendak-Nya, disini manusia tidak mempunyai kebebasan dalam berbuat, karena tidak memiliki kemampuan. Ada yang mengistilahkan bahwa Jabariyah adalah aliran manusia menjadi wayang dan Tuhan sebagai dalangnya.[3]
Jadi dapat disimpulkan bahwa aliran Jabariyah adalah aliran sekelompok orang yang memahami bahwa segala perbuatan yang mereka lakukan merupakan sebuah unsur keterpaksaan atas kehendak Tuhan dikarenakan telah ditentukan oleh qadha’ dan qadar Tuhan.

B.     Sejarah Kemunculan Jabariyah
Mengenai kemunculan faham jabariyah ini, para ahli sejarah pemikiran mengkajinya melalui pendekatan geo-culture bangsa Arab. Diantara ahli yang dimaksud adalah Ahmad Amin. Ia menggambarkan bahwa kehidupan orang-orang Arab yang dikungkung oleh gurun pasir Sahara memberikan pengaruh besar terhadap cara hidup mereka. Ketergantungan mereka kepada alam Sahara yang ganas telah memunculkan sikap penyerahan diri terhadap alam tersebut.[4]
Pendapat yang lain mengatakan bahwa paham ini diduga telah muncul sejak sebelum agama Islam datang ke masyarakat Arab. Kehidupan bangsa Arab yang diliputi oleh gurun pasir sahara telah memberikan pengaruh besar dalam cara hidup mereka. Di tengah bumi yang disinari terik matahari dengan air yang sangat sedikit dan udara yang panas ternyata dapat tidak memberikan kesempatan bagi tumbuhnya pepohonan dan suburnya tanaman, tapi yang tumbuh hanya rumput yang kering dan beberapa pohon kuat untuk menghadapi panasnya musim serta keringnya udara.[5]
Lebih lanjut, Harun Nasution (2002: 31) menjelaskan bahwa dalam situasi demikian, masyarakat Arab tidak melihat jalan untuk mengubah keadaan sekeliling mereka sesuai dengan keinginannya sendiri. Mereka merasa lemah dalam menghadapi kesukaran-kesukaran hidup. Akhirnya, mereka banyak bergantung pada kehendak alam. Hal ini membawa mereka kepada sikap fatalisme[6].
Dalam perkembangannya, jabariyah terbagi antara jabariyah ekstrim dan jabariyah moderat. Faham jabariyah terbagi dalam beberapa golongan, yaitu al-jahmiyah, an-najjariyah, dan ad-dhirariyah.[7]
Faham Jabariyah secara nyata menjadi aliran yang disebarkan kepada orang lain pada masa pemerintahan bani Umayah. Dan yang dianggap sebagai pendiri utama adalah Al-Ja’d bin Dirham (w. 124 H). Ja’d semula tinggal di Damsyik, tetapi karena pendapatnya bahwa Al-Qur’an itu makhluk, maka ia selalu dikejar-kejar oleh penguasa bani Umayah, karena itu ia lari ke Kufah dan ia bertemu dengan Jahm bin Sofwan. Kemudian faham ini disebarkan dengan gigih  oleh Jahm bin Shafwan dari Khurasan yang merupakan murid Ja’d bin Dirham. Dalam sejarah teologi Islam, Jahm tercatat sebagai tokoh yang mendirikan aliran Jahmiyah. Ia adalah sekretaris Suraih bin Al-Haris dan selalu menemaninya dalam gerakan melawan kekuasaan Bani Umayah. Dalam perlawanan itu Jahm sendiri dapat ditangkap dan kemudian dihukum mati pada tahun 131 H.[8] Dan dalam perkembangannya pula, faham jabariyah juga dikembangkan oleh tokoh lainnya diantaranya Al-Husain bin Muhammad An-Najjar sebagai pendiri jabariyah an-najjariyah dan Dirar bin Amr sebagai pendiri jabariyah ad-dhirariyah.[9]
Disisi lain berkaitan dengan kemunculan aliran jabariah dalam Islam, ada teori yang mengatakan bahwa kemunculannya diakibatkan oleh pengaruh pemikiran asing, yaitu pengaruh agama yahudi bermahzab qurra dan agama kristen bermahzab yacobit. Akan tetapi, tanpa pengaruh-pengaruh asing itu sesungguhnya paham jabariyah akan muncul di kalangan umat Islam.[10]
Jadi dapat disimpulkan bahwa awal kemunculan aliran Jabariyah selain diakibatkan oleh pengaruh pemikiran asing, sesungguhnya paham tersebut muncul dari kalangan umat Islam sendiri dan tidak terlepas dari dua faktor, yaitu faktor Geografis dan faktor politik pada masa itu.

C.     Pemuka Jabariyah serta Doktrin-doktrin mereka
Jabariyah dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, ekstrim dan moderat. Di antara doktrin Jabariyah ekstrim adalah pendapatnya bahwa segala perbuatan manusia bukan merupakan perbuatan yang timbul dari kemauannya sendiri, tetapi perbuatan yang dipaksakan atas dirinya.[11]
Di antara pemuka Jabariyah ekstrim adalah berikut ini : 
1.      Ja’d bin Dirham
Al-Ja’d adalah seorang Maulana Bani Hakim, tinggal di Damaskus. Ia dibesarkan di dalam lingkungan orang Kristen yang senang membicarakan teologi. Semula ia dipercaya untuk mengajar di lingkungan pemerintah Bani Umayah, tetapi setelah tampak pikiran-pikirannya yang kontroversial, Bani Umayah menolaknya. Kemudian Al-Ja’d lari ke Kufah dan di sana ia bertemu dengan Jahm, serta mentransfer pikirannya kepada Jahm untuk dikembangkan dan disebarluaskan. Ja’d dibunuh pancung oleh Gubernur Kufah yaitu Khalid bin Abdullah Al-Qasri pada tahun 124 H dikarenakan gerakan perlawananya terhadap pemerintahan bani Umayah. Doktrin pokok Ja’d menurut Al-Ghuraby  adalah sebagai berikut:
a.       Tidak pernah Allah berbicara dengan Musa sebagaimana yang disebutkan oleh Q.S An-Nisa ayat 164.
b.      Bahwa Nabi Ibrahim tidak pernah dijadikan Allah kesayangan Nya menurut ayat 125 dari surat Q.S An-Nisa’.
c.       Al-Qur’an itu adalah makhluk.
d.      Allah tidak mempunyai sifat yang serupa dengan makhluk.
e.       Manusia terpaksa oleh Allah dalam segala-galanya.[12]

2.      Jahm bin Shafwan
Nama lengkapnya adalah Abu Mahrus Jahm bin Shafwan. Ia berasal dari Khurasan (Persia), yang kemudian tinggal di Khufah; ia menjabat sebagai sekretaris Harits bin Surais, ia seorang da’i yang fasih dan lincah (orator), ia seorang mawali (mantan budak) yang menentang pemerintah bani Umayah di Khurasan. Ia dibunuh secara politis tanpa ada kaitannya dengan agama pada tahun 128 H. Sebagai seorang penganut dan penyebar faham Jabariyah, banyak usaha yang dilakukan Jahm yang tersebar ke berbagai tempat, seperti ke Tirmidz dan Balk. Doktrin yang berkaitan dengan Teologi adalah :
a.       Bahwa keharusan mendapatkan ilmu pengetahuan hanya tercapai dengan akal sebelum pendengaran. Akal dapat mengetahui yang baik dan yang jahat hingga mungkin mencapai soal-soal metafisika dan ba'ts/dihidupkan kembali di akhirat nanti. Hendaklah manusia menggunakan akalnya untuk tujuan tersebut bilamana belum terdapat kesadaran mengenai ketuhanan. Dengan kata lain Akal sebagai tolak ukuran baik dan buruk.
b.      Surga dan neraka tidak kekal, dan yang kekal hanya Allah.
c.       Iman dalam pengertianya adalah ma’rifat atau membenarkan dengan hati, dan hal ini sama dengan konsep yang dikemukakan oleh kaum Murjiah.
d.      Allah tidak mempunyai keserupaan dengan manusia seperti berbicara, mendengar, dan melihat, dan Tuhan juga tidak dapat dilihat dengan indera mata di akherat kelak.
e.       Manusia tidak mampu untuk berbuat apa-apa, karena manusia terpaksa oleh Allah dalam segala-galanya
f.       Al-Quran itu adalah makhluk. Oleh karena itu dia baru. Sesuatu yang baru itu tidak dapat disifatkan kepada Allah swt.[13]
Berbeda dengan jabariyah ekstrim, jabariyah moderat mengatakan bahwa Tuhan memang menciptakan perbuatan manusia, baik perbuatan yang jahat maupun perbuatan yang baik, tetapi manusia mempunyai bagian di dalamnya. Kemampuan yang diciptakan dalam diri manusia mempunyai efek untuk mewujudkan perbuatannya. Inilah yang dimaksud dengan kasab (usaha). Menurut fahamnya, manusia tidaklah majbur (dipaksa oleh Tuhan).[14] Yang termasuk tokoh jabariyah moderat adalah sebagai berikut: 
1.      An-Najjar
Nama lengkapnya adalah Husain bin Muhammad An-Najjar (w. 210 H). Para pengikutnya disebut An-Najjariyah atau Al-Husainiyah. Diantara doktrin-doktrinnya adalah: 
a.       Tuhan menciptakan segala perbuatan manusia, tetapi manusia mengambil bagian atau peran dalam mewujudkan perbuatan-perbuatan itu.
b.      Tuhan tidak dapat dilihat di akhirat. [15]

2.      Ad-Dhirar
Nama lengkapnya adalah Dhirar bin Amr al-Qadhi (w. 190 H). Awalnya Dhirar beraliran mu’tazilah dan sebagai murid dari Washil bin Atha’, aliran sesat yang ciri khasnya yang memposisikan akal diatas wahyu. Kendati demikian Dhirar memunculkan pendapat-pendapat pribadi yang bertentangan dengan mu’tazilah, dan Dhirar membangun aliran tersendiri yaitu ad-dhirariyah dan mencetuskan pemikiran-pemikiran yang berbeda dengan gurunya. Di antara doktrin-doktrinnya adalah:
a.       Pendapatnya tentang perbuatan manusia sama dengan Husain bin Muhammad An-Najjar, yakni manusia mempunyai bagian dalam perwujudan dari perbuatannya dan tidak semata-mata dipaksa dalam melakukan perbuatannya. 
b.      Mengenai ma’rifat Tuhan di akhirat, Dhirar mengatakan bahwa Tuhan dapat dilihat di akhirat melalui indera keenam. 
c.       Hujjah yang dapat diterima setelah nabi adalah Ijtihad. Hadits ahad tidak dapat dijadikan sumber dalam menetapkan hukum.[16]


BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Aliran Jabariyah adalah aliran sekelompok orang yang memahami bahwa segala perbuatan yang mereka lakukan merupakan sebuah unsur keterpaksaan atas kehendak Tuhan dikarenakan telah ditentukan oleh qadha’ dan qadar Tuhan.
Awal kemunculan aliran Jabariyah selain diakibatkan oleh pengaruh pemikiran asing, sesungguhnya paham tersebut muncul dari kalangan umat Islam sendiri dan tidak terlepas dari dua faktor, yaitu faktor Geografis dan faktor politik pada masa itu.
Jabariyah terbagi dua yaitu jabariyah ekstrim dan jabariyah moderat. Faham jabariyah ekstrim yaitu faham dari golongan al-jahmiyah. Sedangkan jabariyah moderat adalah dari golongan an-najjariyah, dan ad-dhirariyah. Al-jahmiyah dipelopori oleh Jahm bin Shafwan yang mana pemikirinnya dipengaruhi oleh Ja’d bin Dirham. Sedangkan an-najjariyah dipelopori oleh Husain bin Muhammad An-Najjar, dan ad-dhirariyah dipelopori oleh Dhirar bin Amr al-Qadhi.

B.     Saran
Agar sekiranya para pembaca dapat mengambil hikmah serta ibrah dari pembahasan mengenai ajaran aliran jabariyah yang telash penulis sajikan, dan mampu bersikap bijak dalam menghadapi persoalan masalah teologi ini.



DAFTAR PUSTAKA
Al-Ghurabi , Ali Musthafa. 1958. Tarikh Al-Firaq Al-Islamiyah. Kairo: Dar al-Ma’arif
Amin, Ahmad. 1924. Fajr Al-Islam; Maktabah An-Nahdhah Al-Misriyah li Ashhabiba Hasan Muhammad wa Auladih. Kairo: Dar al-Ma’rif
Anwar, Rosihan. 2006. Ilmu Kalam. Bandung: Puskata Setia
Asy-Syahratnasy, Muhammad ibn Abd al-Karim.  Al-Milal wa An-Nihal. Beirut-Libanon: Dar al-Kurub al-‘Ilmiyah
Munawwir, Ahmad Warson. 1997. Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia. Surabaya: Pustaka Progessif
Nasir, Sahiludin A. 1991. Pengantar Ilmu Kalam. Jakarta: Rajawali
Nasution, Harun. 2002. Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan. Jakarta: UI-Press
Razak, Abdul. 2009. Ilmu Kalam. Bandung: Pustaka Setia
Razak, Abdul dan Anwar, Rosihan. 2007.  Ilmu Kalam. Bandung: Pustaka Setia
Yuslem, Nawir. 2013. Metodologi dan Pendekatan Dalam Pengkajian Islam. Bandung: Citapustaka Media



[1] Abdul Razak, Ilmu Kalam, (Bandung: Pustaka Setia, 2009) h. 63
[2] Nawir Yuslem, Metodologi dan Pendekatan Dalam Pengkajian Islam, (Bandung: Citapustaka Media, 2013) h. 121
[3] Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI-Press, 2002), h. 1
[4] Ahmad Amin, Fajr Al-Islam; Maktabah An-Nahdhah Al-Misriyah li Ashhabiba Hasan Muhammad wa Auladihi, kairo, 1924, hlm. 45.
[5] Rosihan Anwar, Ilmu Kalam, (Bandung: Puskata Setia, 2006), cet ke-2, h. 64
[6] Adalah kepasrahan total yang menganggap manusia tidak dapat melakukan apa-apa, tidak memiliki daya, dan dipaksa berbuat oleh Allah swt.
[7] Abdul Razak dan Rosihan Anwar, Ilmu Kalam, (Bandung: Pustaka Setia, 2007) h. 74
[8] Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI Press, 2002), h. 33
[9] Nawir Yuslem, Metodologi dan Pendekatan...., h. 123
[10] Sahiludin A. Nasir, Pengantar Ilmu Kalam, (Jakarta: Rajawali, 1991), h. 133.
[11] Muhammad ibn Abd al-Karim Asy-Syahratnasy, Al-Milal wa An-Nihal, (Beirut-Libanon: Dar al-Kurub al-‘Ilmiyah) h. 85
[12] Ali Musthafa Al-Ghurabi, Tarikh Al-Firaq Al-Islamiyah, (Kairo: Dar al-Ma’arif, 1958)  h. 28-29
[13] Amin Ahmad, Fajr..., h. 286-287.
[14] Harun Nasution, Teologi Islam..., h. 35
[15] Ibid,.
[16] Asy-Syahratnasy, Al-Milal..., h. 74
Baca selengkapnya »»  

Minggu, 10 Maret 2013

MASYARAKAT DALAM PERSPEKTIF ISLAM

Makalah ini disusun guna memenuhi tugas Filsafat Pendidikan Islam

Dosen Pengampu :

Dr. Toto Suharto, S.Ag., M.Ag

Disusun Oleh

Muhammad Luthfie Ramadhani

113111240

FAKULTAS TARBIYAH DAN BAHASA

JURUSAN TARBIYAH

PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SURAKARTA

2013















                 BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Selain sebagai makhluk individual, manusia juga sebagai  makhluk sosial. Sebagai makluk sosial, manusia membutuhkan teman untuk bergaul untuk menyatakan suka dan duka, dan memenuhi berbagai kebutuhan lainnya yang bersifat kolektif.
Sebagai makhluk sosial, manusia mau tidak mau harus berinteraksi dengan manusia lainnya, dan membutuhkan lingkungan dimana ia berada. Ia menginginkan adanya lingkungan sosial yang ramah, peduli, santun, saling menjaga dan menyayangi, bantu membantu, taat pada aturan, tertib, disiplin, menghargai hak-hak manusia dan lain sebagainya. Lingkungan yang demikian itulah yang memungkinkan ia dapat melakukan berbagai aktifitasnya dengan tenang, tanpa terganggu oleh berbagai hal yang dapat merugikan dirinya.
Keinginan untuk mewujudkan lingkungan yang demikian itu mendorong  perlunya membina masyarakat yang berpendidikan, beriman, dan bertaqwa kepada Tuhan. Karena di dalam masyarakat yang demikian itulah akan tercipta lingkungan dimana berbagai aturan dan perundang-undangan dapat ditegakkan.
Al-Quran sebagai sumber ajaran Islam telah memberikan perhatian yang besar terhadap perlunya pembinaan masyarakat.

B.  Rumusan Masalah
Adapun rumusan permasalahan yang akan kami bahas yaitu:
1.      Apa pengertian masyarakat dan masyarakat Islam?
2.      Apa dasar yang menjadi pembentukan masyarakat Islam?
3.      Bagaimana karakteristik masyarakat Islam?
4.      Apa hubungan masyarakat Islam dengan pendidikan Islam?





BAB II
PEMBAHASAN

A.    Hakikat Masyarakat
1.      Pengertian Masyarakat
Secara bahasa, kata ’’masyarakat’’berasal dari bahasa Arab ’’syarikat’’ yaitupembentukan suatu kelompok atau golongan atau kumpulan. Dalam bahasa Inggris, pergaulan hidup disebut ’’social’’ (sosial), hal ini ditujukan dalam pergaulan hidup kelompok manusia terutama dalam kelompok kehidupan masyarakat teratur.
Dalam al-Qur’an ada beberapa istilah yang digunakan dalam menjelaskan makna masyarakat, yaitu kataummah dan qoum. Didalam al-Qur’an terdapat 49 kata ummah yang memiliki makna, yaitu:[1][1]
1)      Kelompok yang menyuruh kepada kebaikan dan mencegah dari kemungkaran (QS. Ali Imran: 104)
2)      Kaum (QS. Hud: 8)
3)      Jalan, cara atau gaya hidup (QS. Az-zukhruf: 22)
Secara umum, masyarakat adalah sekelompok orang/ manusia yang hidup bersama yang mempunyai tempat/ daerah tertentu untuk jangka waktu yang lama dimana masing-masing anggotanya saling berinteraksi. Interaksi yang dimaksudkan berkaitan dengan sikap, tingkah laku dan perbuatan. Segala tingkah laku dan perbuatan tersebut diatur dalam suatu tata tertib/ undang-undang/ peraturan tertentu yang disebut hukum adat.[2]
Menurut Murthadha Muthahhari, masyarakat adalah kelompok-kelompok manusia yang terkait oleh sistem-sistem, adat istiadat, ritus-ritus serta hukum- hukum khas, dan yang hidup bersama-sama dalam wilayah tertentu, iklim dan bahan makanan yang sama.[3]
Menurut Selo Sumardjan dikutip oleh Soerjono Soekanto, masyarakat adalah orang-orang yang hidup bersama-sama yang menghasilkan sebuah kebudayaan.[4]
Maka dapat kami simpulkan bahwa masyarakat adalah sekelompok manusia yang telah cukup lama tinggal di suatu tempat atau didaerah tertentu dengan mempunyai aturan tertentu tentang tata cara hidup mereka menuju satu tujuan yang sama dengan menghasilkan sebuah kebudayaan. Dengan demikian rumusan tentang masyarakat yaitu:
1)      Adanya sekelompok manusia.
2)      Adanya peraturan atau undang-undang yang mengatur mereka.
3)      Bertempat tinggal didaerah tertentu dan telah berjalan cukup lama.
4)      Adanya kebudayaan atau adat istiadat setempat.

2.      Pengertian Masyarakat Islam
Menurut Muhammad Quthb, bahwa masyarakat Islam adalah suatu masyarakat yang segala sesuatunya bertitik tolak ukur dari Islam dan tunduk pada sistematika Islam. Berangkat dari hal tersebut diatas, maka suatu masyarakat yang tidak diliputi oleh suasana Islam, corak Islam, bobot Islam, prinsip Islam, syariat dan aturan Islam serta berakhlak Islam, bukan termasuk masyarakat Islam.
Masyarakat Islam bukan hanya sekedar masyarakat yang beranggotakan orang Islam, tetapi sementara syariat Islam tidak ditegakkan diatasnya, meskipun mereka shalat, puasa, zakat dan haji. Atas dasar itulah, masyarakat Islam harus menjadikan segala aspek hidupnya prinsip-prinsip, amal perbuatannya, nilai hidupnya, jiwa dan raganya, hidup dan matinya harus terpancar dari sistem Islam.
 Oleh karena itu, kekuasaan yang mengatur kehidupan manusia haruslah kekuasaan yang mengatur adanya manusia itu sendiri. Manusia dalam hal ini harus menjadikan syariat Allah sebagai penguasa tunggal dari seluruh aspek kehidupannya dengan demikian, tetaplah Allah saja yang mempunyai kekuasaan tertinggi, sehingga masyarakat islam senantiasa diperintah dan diatur oleh pola syariat-Nya.
Dalam pandangan Mohammad Quthb bahwa masyarakat Islam adalah masyarakat yang berbeda dengan masyarakat lain. Letak perbedaanya yaitu, peraturan-peraturannya khusus, undang-undangnya yang Qurani, anggota-anggotanya yang beraqidah satu, aqidah Islamiyah dan berkiblat satu.[5]

B.  Dasar Pembentukan Masyarakat Islam
Menurut Mustafa Abdul Wahid yang dikutip oleh Ramayulis dan Samsul Nizar, bahwa dasar-dasar pembentukan masyarakat Islam adalah:[6]
1.      Persaudaraan
Masyarakat yang dibina atas dasar persaudaraan yang menyeluruh, dan diikat oleh kesatuan keyakinan yaitu Tidak ada tuhan yang disembah melainkan Allah dan Muhammad adalah Rasulnya. Masayrakat Islam bersifat universal dan tidak terikat oleh perbedaan bangsa atau bahasa, atau pun kulit warna. Allah berfirman:
إِنَّمَاٱلۡمُؤۡمِنُونَ إِخۡوَةٞ فَأَصۡلِحُواْ بَيۡنَ أَخَوَيۡكُمۡۚ... ١٠
Artinya:Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu.. (QS. Al-hujurat: 10)
Persaudaraan model Islam ini berbeda dengan persaudaraan Arab di zaman jahiliyah yang berdasarkan “ashobiyah” atau kabilah tertentu. Persaudaraan dalam Islam memiliki makna yang luas yaitu persaudaraan yang tidak terbatas pada seketurunan, tapi meliputi seluruh manusia yang sama akidahnya.
2.      Kasih Sayang
Masyarakat Islam dibina atas dasar rasa kasih sayang antara satu sama lain. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah saw yang mengatakan bahwa “tidak sempurna iman seorang muslim sebelum mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri.
3.      Persamaan
Masyarakat Islam mempunyai hak dan kewajiban yang sama, adapun yang meembedakannya hanyalah fungsinya masing-masing dalam masyarakat. Ada orang yang menjadi pemimpin dan ada yang dipimpin. Tidak ada perbedaan dihadapan Allah.
4.      Kebebasan
Masyarakat Islam dibina untuk mempunyai kebebasan atau kemerdekaan. Hal ini merupakan hak asasi setiap manusia. Dalam agama Islam tak ada paksaan dalam beragama (la ikraaha fid-diin). Hal ini bukan berarti orang Islam bebas tidak beragama. Umat Islam dituntut agar melaksanakan ajaran agamanya dengan baik dan benar.
5.      Keadilan Sosial
Masyarakat Islam dibina atas dasar keberadilan sosial, yaitu keadilan yang merata bagi seluruh ummat. Islam sangat menekankan keadilan, yaitu meletakkan sesuatu pada proporsi yang semestinya sesuai dengan aturan Ilahi. Allah menganjurkan agar setiap muslim berlaku adil walaupun terhadap dirinya sendiri. Keadilan dalam Islam meliputi hal-hal yang bersifat material  dan spiritual.
Menurut Quraish Shihab, dasar pembentukan masyarakat Islam antara lain:[7]
1.      Manusia adalah makhluk sosial yang secara fitrah ingin bersama dan membutuhkan orang lain sepanjang hidupnya. Kata ‘alaq  dalam surah al-‘Alaq bukan hanya bermakna segumpal darah atau sesuatu yang menempel di dinding rahim, tetapi juga dipahami sebagai diciptakan dinding dalam keadaan tergantung pada pihak lain atau tidak dapat hidup sendiri.
2.      Manusia saling membutuhkan satu sama lain.. manusia berbeda kecerdasannya, kemampuannya, status sosialnya dan perbedaan lainnya.
Dengan dasar di atas, Rasulullah saw mampu membina ummatnya secara bijaksana. Bahkan, beliau mampu memberi contoh keteladanan dalam semua aspek kehidupan. Dengan pendekatan tersebut, menjadikan kepemimpinannya sukses dalam mengantarkan umat sebagai masyarakat yang madani.
Dari apa yang dikemukakan di atas, dapat disimpulkan bahwa dasar pembentukan masyarakat Islam adalah sudah merupakan ciptaan Allah, dan manusia itu memang diciptakan Allah saling membutuhkan satu dengan yang lainnya. Lagipula dalam Islam semua anggota masyarakat sebagai orang mukmin itu adalah bersaudara.

C.  Karakteristik Masyarakat Islam
Karakteristik umum masyarakat Islam, terdapat dalam surah ali Imran: 110, yaitu:
كُنتُمۡ خَيۡرَ أُمَّةٍ أُخۡرِجَتۡ لِلنَّاسِ تَأۡمُرُونَ بِٱلۡمَعۡرُوفِ وَتَنۡهَوۡنَ عَنِ ٱلۡمُنكَرِ وَتُؤۡمِنُونَ بِٱللَّهِۗ ١١٠
Arti: Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma´ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah..
1.      Beriman
Masyarakat Islam menurut al-Quran adalah sebuah masyarakat yang ditopang oleh keimanan yang kokoh kepada Allah Swt. Dasar iman membuahkan taqwa, rasa aman dan damai di hati, juga dapat mendidik manusia untuk melakukan amal shaleh.
2.      Amar Ma’ruf dan Nahi Munkar
Kata ma’ruf diartikan sebagai sesuatu yang diketahui, yang dikenal, atau yang diakui. Dalam ayat tersebut keimanan kepada Allah diletakkan dalam urutan yang ketiga dari syarat-syarat masyarakat Islam, salah satu penjelasannya sebagaimana disampaikan al-Maraghi, bahwaamar ma’ruf dan nahi munkar merupakan pintu keimanan dan yang memilihara keimanan tersebut pada umumnya pintu itu posisinya berada di depan.


C. Karakteristik khusus masyarakat Islam, yaitu:
1.      Musyawarah
Allah swt, berfirman dalam surah Ali Imran: 159, yaitu:
فَبِمَا رَحۡمَةٖ مِّنَ ٱللَّهِ لِنتَ لَهُمۡۖ وَلَوۡ كُنتَ فَظًّا غَلِيظَ ٱلۡقَلۡبِ لَٱنفَضُّواْ مِنۡ حَوۡلِكَۖ فَٱعۡفُ عَنۡهُمۡ وَٱسۡتَغۡفِرۡ لَهُمۡ وَشَاوِرۡهُمۡ فِي ٱلۡأَمۡرِۖ…… ١٥٩
Arti: Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu…..…
Kata musyawarah pada dasarnya digunakan untuk hal-hal yang baik saja. Setiap individu maupun kelompok bebas memberi pendapat, mengakui hak orang lain untuk memberi pendapat dan kewajiban mendengar pendapat orang lain.
2.      Keadilan
Dalam hal ini, adil dapat diartikan menjaga keseimbangan dalam masyarakat, artinya keadilan adalah segala sesuatu yang dapat melahirkan kemaslahatan bagi masyarakat atau menjaga dan memeliharanya dalam bentuk lebih baik sehinggan masyarakat mendapatkan kemajuan
3.      Persaudaraan
Ciri khusus masyarakat yang diidealkan al-Quran adalah masyarakat yang anggota warganya sepenuhnya selalu menjalin persaudaraan. Persaudaraan tidak akan terwujud apabila tidak ada rasa mencintai dan bekerja sama. Setiap anggota masyarakat yang tidak diikat oleh ikatan kerja sama dan kasih sayang serta persatuan yang sesungguhnya, tidak mungkin dapat bersatu untuk mencapai tujuan bersama.
4.      Toleransi
Sika toleransi dimulai dengan cara membangun kebersamaan dan keharmonisan dan menyadari adanya perbedaan. Dan menyadarii pula bahwa kita semua adalah bersaudara. Maka akan timbul rasa kasih dan sayang, saling pengertian dan pada akhirnya akan bermuara pada sikap toleran.

Karakteristik masyarakat Islam juga digambarkan Allah swt. Diantaranya pada surah al-Hujurat: 11-12 yaitu:
يَٰٓأَيُّهَاٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا يَسۡخَرۡ قَوۡمٞ مِّن قَوۡمٍ عَسَىٰٓ أَن يَكُونُواْ خَيۡرٗا مِّنۡهُمۡ وَلَا نِسَآءٞ مِّن نِّسَآءٍ عَسَىٰٓ أَن يَكُنَّ خَيۡرٗا مِّنۡهُنَّۖ وَلَا تَلۡمِزُوٓاْ أَنفُسَكُمۡ وَلَا تَنَابَزُواْ بِٱلۡأَلۡقَٰبِۖ بِئۡسَ ٱلِٱسۡمُ ٱلۡفُسُوقُ بَعۡدَ ٱلۡإِيمَٰنِۚ وَمَن لَّمۡ يَتُبۡ فَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلظَّٰلِمُونَ ١١يَٰٓأَيُّهَاٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱجۡتَنِبُواْ كَثِيرٗا مِّنَ ٱلظَّنِّ إِنَّ بَعۡضَ ٱلظَّنِّ إِثۡمٞۖ وَ لَا تَجَسَّسُواْ وَلَا يَغۡتَب بَّعۡضُكُم بَعۡضًاۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمۡ أَن يَأۡكُلَ لَحۡمَ أَخِيهِ مَيۡتٗا فَكَرِهۡتُمُوهُۚ وَٱتَّقُواْٱللَّهَۚ إِنَّٱللَّهَ تَوَّابٞ رَّحِيمٞ ١٢
Arti:11. Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim
12. Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang
Dari paparan ayat di atas, dapat disimpulkan bahwa masyarakat Islam harus memiliki ciri-ciri atau sifat-sifat yang terdapat pada ayat diatas, yaitu:[8]
1.      Tidak menganggap remeh komunitas lain
2.      Tidak mengejek diri sendiri
3.      Tidak memanggil seseorang dengan gelar-gelar yang buruk
4.      Tidak mencari-cari kesalahan orang lain
5.      Tidak menghibah
6.      Tidak berprasangka buruk terhadap orang lain.

Karakteristik masyarakat yang diinginkan Islam terlihat dari dua buah Piagam Madinah dan Deklarasi Kairo[9]
1.      Piagam Madinah
Konsesepsi dasar yang tertuang dalam piagam Madinah merupakan pernyataan atau kesepakatan masyarakat Madinah untuk melindungi dan menjamin hak-hak sesama masyarakat tanpa melihat latar belakang suku dan agama. Piagam Madinah (Mitsaqul Madinah) yang dideklarasikan oleh Rasulullah saw, tahun 622 M, merupakan kesepakatan-kesepakatan  tentang aturan yang berlaku bagi masyarakat Madinah.
Terdapat dua landasan pokok dalam Piagam Madinah, yaitu
a)      Semua pemeluk Islam adalahsatu umat walaupun mereka berbeda suku dan bangsa.
b)      Hubungan antara komunitas Muslim dan Non-Muslim didasarkan pada prinsip-prinsip:
1)      Berintegrasi secara baik dengan sesama tetangga
2)      Saling membantu dalam menghadapi musuh bersama
3)      Membela mereka yang teraniaya
4)      Saling menasehati
5)      Menghormati kebebasan beragama
Menurut Muhammad Syafii Antonio bahwa Piagam Madinah merupakan dokumen politik setebal 47 pasal yang diletakkan nabi Muhammad saw, sejak 14 abad silam. Piagam tersebut menetapkan prinsip-prinsip konstitusi negara modern, seperti kebebasan beragama, kebebasan menyatakan pendapat, perlindungan terhadap harta dan jiwa anggota masyarakat, dan larangan orang melakukan kejahatan. Piagam itu membukakan pintu baru dalam kehidupan politik dan peradaban pada masa itu.[10]
2.      Deklarasi Kairo (Cairo Declaration)
Dalam pandangan negara-negara Islam, HAM Barat tidak sesuai dengan ajaran Islam yang telah ditetapkan Allah swt. Karenanya negara-negara Islam yang tergabung dalam Organization of the Islamic Conference (OIC/OKI) pada tanggal 5 Agustus 1990 mengeluarkan deklarasi tentang kemanusiaan sesuai syariat Islam.
Deklarasi Kairo memuat 15 pasal yang kesemuanya berdasarkan ayat alQur’an. Seperti pasal 1 mengenai hak Persamaan dan Kebebasan berdasarkan surah al-Isra’: 70, surah an-Nisa’: 58, 105, 107, 135, surah al-Mumtahanah: 8, begitupun 14 pasal lainnya.

D.  Hubungan Masyarakat dengan Pendidikan Islam
Pendidikan adalah aktifitas khas masyarakat. Ia hanya ada dan berlangsung dalam lingkungan masyarakat manusia. Di satu sisi, pendidikan merupakan yang secara inheren telah melekat dalam tugas kemanusiaan manusia. Di sisi lain, pendidikan juga merupakan sarana atau instrument untuk membentuk dan mewujudkan tatanan masyarakat ideal yang di cita-citakan Islam. Karenanya, masyarakat tidak bisa dipisahkan, dan sebaliknya, pendidikan juga tidak bisa di pisahkan dari masyarakat.
Oleh karena itu, tugas-tugas edukatif yang harus dilaksanakan masayarakat antara adalah:[11]
1.      Mengarahkan diri dan semua anggota masyarakat untuk bertauhid dan bertaqwa kepada Allah swt. (QS. 23: 52)
2.      Masyarakat berkewajiban men-ta’lim, men-ta’dib dan men-tarbiyahkan syariat Allah swt, sebagaimana dilakukan oleh para Nabi dan Rasul. Diantara muatan yang harus dididikkan tersebut adalah agar membacakan ayat-ayat Allah (QS. 13:30), menyeru agar manusia menyembah Allah dan menjauhi thagut (QS. 16: 36), memberi putusan yang adil (QS. 10: 47), membawa berita gembira dan memberi peringatan (QS. 35: 24), dan menjadi saksi bagi sesama ummat (QS. 16: 84 dan 89, QS. 28: 75).
3.      Masyarakat berkewajiban saling menyeru ke jalan Allah dan menganjurkan kepada yang ma’ruf dan mencegah kemungkaran.
4.      Masyarakat harus mendidik sesamanya untuk selalu berlomba-lomba dalam meletakkan kebajikan, sebab diantara rahasia mengapa Allah swt, menjadikan manusia itu berkelompok-kelompok, tidak satu ummat saja adalah untuk menguji dan melihat bagaimana manusia berkompetisi dalam melakukan kebajikan.
5.      Masyarakat berkewajiban membagi rahmat Allah swt, atau berkorban untuk sesamanya, karena sesungguhnya Allah swt, telah mensyariatkan hal-hal yang demikian.
6.      Masyarakat harus menegakkan sikap adil agar mereka bisa menjadi saksi terhadap perbuatan sesamanya, sebagaimana Rasul diutus Allah swt, untuk menjadi saksi atas perbuatan yang mereka lakukan.
7.      Masyarakat berkewajiban mendidikkan tanggung jawab pada setiap warganya, sebab mereka hanya hidup dalam suatu rentang waktu. Suatu saat ajal akan menjemput tanpa dapat diundur atau dimajukan. Akan ada masa dimana setiap ummat akan melihat buku catatan amalnya dan menerima balasan terhadap segala sesuatu yang telah dikerjakan.

Adapun hubungan fungsi pendidikan Islam terhadap masyarakat adalah untuk memperbaiki (ishlah) kehidupan masyarakat yang meliputi:[12]
1.      Ishlah al-Aqidah, yaitu memperbaiki akidah umat. Islam telah mampu memperbaiki akidah dari masyarakat yang menyembah berhala kepada agama tauhid. Dalam Islam, zat yang berhak disembah hanyalah Allah swt.
2.      Ishlah al-Ibadah, yaitu memperbaiki cara beribadah. Rasalullah saw, telah memberi contoh bagaimana cara shalat, bagaiman cara puasa, haji dan sebagainya.
3.      Ishlah al-A’ilah, yaitu perbaikan berkeluarga. Pernikahan diatur secermat-cermatnya. Hak dan kewajiban suami istri dijelaskan. Demikian pula hak dan kewajiban anak serta hak dan kewajiban pembantu bila ada. Dalam Islam, kesemuanya akan diminta pertanggung jawaban oleh Allah swt, nantinya.
4.      Ishlah al-‘Adah, yaitu memperbaiki adat. Sebagaimana adat bangsa Arab Jahiliyah yang terkenal buas dan kejam, seperti menguburkan anak-anak mereka yang perempuan hidup-hidup yang dianggap menurunkan derajat perempuan. Islam menegaskan bahwa jiwa manusia mahal sekali dan tidak boleh dibinasakan kecuali dengan hak.
5.      Ishlah al-Mujtama’, yaitu memperbaiki umat manusia, pada umumnya. Masyarakat Islam tidak hanya bergaul dengan sesamanya saja, akan tetapi juga bergaul dengan yang bukan muslim. Hal ini diatur melalui ketentuan yang diperlihatkan oleh Rasulullah saw. Orang-orang Islam harus bergaul secara baik dengan masayarakat non-muslim selama mereka tidak memusuhi umat Islam. Mereka dibiarkan melakukan ibadah menurut keyakinannya masing-masing. Hal ini sesuai dengan firman Allah swt yang menyatakan: “bagimu agamamu, dan bagiku agamaku”















BAB III
KESIMPULAN

-          Dalam al-Qur’an ada beberapa istilah yang digunakan dalam menjelaskan makna masyarakat, yaitu kata ummah dan qoum.
-          Masyarakat adalah sekelompok manusia yang telah cukup lama tinggal di suatu tempat atau didaerah tertentu dengan mempunyai aturan tertentu tentang tata cara hidup mereka menuju satu tujuan yang sama dengan menghasilkan sebuah kebudayaan.
-          Masyarakat Islam adalah suatu masyarakat yang segala sesuatunya bertitik tolak ukur dari Islam dan tunduk pada sistematika Islam. Berangkat dari hal tersebut diatas, maka suatu masyarakat yang tidak diliputi oleh suasana Islam, corak Islam, bobot Islam, prinsip Islam, syariat dan aturan Islam serta berakhlak Islam, bukan termasuk masyarakat Islam.
-          Dasar Pembentukan Masyarakat Islam yaitu: Persaudaraan, Kasih Sayang, Persamaan, Kebebasan, dan Keadilan Sosial.
-          Karakteristik masyarakat Islam yaitu: Beriman, Amar Ma’ruf dan Nahi Munkar, Musyawarah, Keadilan, Persaudaraan, Toleransi.
-          Hubungan masyarakat dengan pendidikan, yaitu: masyarakat berkewajiban dan bertanggung jawab dalam mendidik dan mengajari anak dalam lingkungan nonformal.











DAFTAR PUSTAKA
Idi,Abdullah. Sosiologi Pendidikan Individu, Masyarakat dan Pendidikan. Jakarta: Raja Grafindo
Muthahhari, Murthadha. 1986. Masyarakat dan Sejarah, terj. M. Hashem, judul asli Society and History. Bandung: Mizan
Nata,Abuddin. 2008.Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan. Jakarta: Rajawali Pers
Quthb,Mohammad. 1993. Islam Ditengah Pertarungan Tradisi. Mizan: Bandung
Ramayulis dan Samsul Nizar. 2009. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Kalam Mulia
Salminawati, 2011. Filsafat Pendidikan Islam. Bandung: Citapustaka Media Perintis
Shihab,Quraish. 1999.Wawasan Al-Qur’an. Bandung: Mizan
Soekanto, Soerjono. 1966. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: UI Press
Syafii Antonio,Muhammad.2010. Ensiklopedia Leadership dan Manajemen Muhammad saw “The Super Leader Super Manager”. Jakarta: Tazkia Publishing



[1][1]Abuddin Nata, Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan, (Jakarta: Rajawali Pers, 2008), hal. 234
[2][2]Abdullah Idi, Sosiologi Pendidikan Individu, Masyarakat dan Pendidikan, (Jakarta: Raja Grafindo), hal. 38
[3]Murthadha Muthahhari, Masyarakat dan Sejarah, terj. M. Hashem, judul asli Society and History, (Bandung: Mizan, 1986), hal. 15
[4]Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: UI Press, 1966), hal. 91
[5][5]Mohammad Quthb, Islam Ditengah Pertarungan Tradisi,(Mizan: Bandung, 1993), hal. 186
[6][6]Ramayulis dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2009), hal 66-67
[7][7]Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1999), hal. 110
[8][8]Salminawati, Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: Citapustaka Media Perintis, 2011), hal. 69
[9][9]Ramayulis dan Samsul Nizar, Ibid, hal 68
[10][10] Muhammad Syafii Antonio, Ensiklopedia Leadership dan Manajemen Muhammad saw “The Super Leader Super Manager”, (Jakarta: Tazkia Publishing, 2010), hal. 92
[11][11]Salminawati, Ibid, hal. 76
[12][12]Ramayulis dan Samsul Nizar, Ibid, hal. 72
Baca selengkapnya »»