Jumat, 09 Agustus 2013

ILMU KALAM (ALIRAN JABARIYAH)

Makalah ini disusun guna memenuhi tugas Ilmu Kalam
Dosen Pengampu : Dr. Toto Suharto S.Ag., M.Ag,.

Disusun Oleh :
Lia Kristina (11.31.11.210)
Margi Wahyunto (11.31.11.236)
Muhammad Luthfie R (11.31.11.240)
Muhammad Iqbal T (11.31.11.239)


FAKULTAS TARBIYAH DAN BAHASA
JURUSAN TARBIYAH
PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SURAKARTA
2013

BAB I
PENDAHULUAN
Permulaan dari perpecahan umat Islam, boleh dikatakan sejak wafatnya Nabi. Tetapi perpecahan itu menjadi reda karena terpilihnya Abu Bakar menjadi khalifah. Demikianlah berjalan masa-masa kekhalifahan Abu Bakar, Umar, dalam kubu persatuan yang erat dan persaudaraan yang mesrah. Dalam masa ketiga khalifah itulah dipergunakan kesempatan yang sebaik-baiknya dan mengembangkan Islam keseluruh alam. Tetapi setelah Islam luas kemana-mana tiba-tiba diakhir khalifah Utsman, terjadi suatu cedera yang ditimbulkan oleh tindakan Utsman yang kurang disetujui oleh pendapat umum.
Inilah asalnya fitnah yang membuka kesempatan untuk orang-orang yang lapar kedudukan meruntuhkan pemerintahan
Utsman. Semenjak itulah berpangkalnya perpecahan umat islam sehingga menjadi beberapa partai atau golongan dan memunculkan perbedaan pendapat.
Perbedaan tersebut tampak melalui perdebatan dalam masalah  kalam yang ahirnya menimbulkan berbagai aliran - aliran dalam Islam. Dalam perdebatan tentang teologi ini, akhirnya menimbulkan berbagai macam aliran diantaranya seperti Khawarij, Syiah, Murji’ah, Mu’tazilah, Jabariyah dan Qodariyah serta aliran-aliran lainnya.
Pada pembahasan kali ini pemakalah akan menjelaskan tentang aliran Jabariyah dengan beberapa sub pembahasan berupa:
A.    Pengertian Jabariyah
B.     Sejarah Kemunculan Jabariyah
C.     Pemuka Jabariyah serta Doktrin-doktrin mereka




BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Jabariyah
Dalam kamus Munjid dijelaskan bahwa nama Jabariyah berasal dari kata jabara (جَبَرَ) yang mengandung arti memaksa dan mengharuskannya melakukan sesuatu. Kalau dikatakan Allah mempunyai sifat Al-jabbar (dalam bentuk mubalaghah), artinya Allah Maha Memaksa. Ungkapan al-ihsan majbur (bentuk isim maf’ul) mempunyai arti bahwa manusia dipaksa atau terpaksa. Selanjutnya kata jabara (bentuk pertama), setelah ditarik menjadi jabariyah (dengan menambah ya nisbah, artinya adalah suatu kelompok atau aliran (isme) Sedangkan secara istilah Jabariyah adalah menolak adanya perbuatan dari manusia dan menyandarkan semua perbuatan kepada Allah. Dengan kata lain adalah manusia mengerjakan perbuatan dalam keadaan terpaksa (majbur).[1] Menurut Ahmad Warson Munawwir (1997: 164) al-jabriyyu (الجَبْرِيُّ) mempunyai makna al-ilzamiyyu (الاِلْزَمِيُّ) yaitu secara paksa. sedangkan Jabariyyah sendiri dimaknai sebagai aliran yang berfaham tidak adanya ikhtiar.
Sementara itu, Nu’am Abbas dalam Nawir Yuslem juga mengatakan bahwa “kata jabariyah dijadikan sebagai suatu nama sekte atau faham keagamaan dalam Islam disebabkan sekte ini mempunyai doktrin bahwa manusia itu didalam keterpaksaan. Manusia menurut pandangan mereka ibarat wayang yang dimainkan oleh sang dalang. Manusia dalam aktifitas hidupnya telah ditetapkan atau ditakdirkan oleh Allah.[2]
Menurut Harun Nasution, Jabariyah adalah paham yang menyebutkan bahwa segala perbuatan manusia telah ditentukan dari semula oleh Qadha dan Qadar Allah. Maksudnya adalah bahwa setiap perbuatan yang dikerjakan manusia tidak berdasarkan kehendak manusia, tapi diciptakan oleh Tuhan dan dengan kehendak-Nya, disini manusia tidak mempunyai kebebasan dalam berbuat, karena tidak memiliki kemampuan. Ada yang mengistilahkan bahwa Jabariyah adalah aliran manusia menjadi wayang dan Tuhan sebagai dalangnya.[3]
Jadi dapat disimpulkan bahwa aliran Jabariyah adalah aliran sekelompok orang yang memahami bahwa segala perbuatan yang mereka lakukan merupakan sebuah unsur keterpaksaan atas kehendak Tuhan dikarenakan telah ditentukan oleh qadha’ dan qadar Tuhan.

B.     Sejarah Kemunculan Jabariyah
Mengenai kemunculan faham jabariyah ini, para ahli sejarah pemikiran mengkajinya melalui pendekatan geo-culture bangsa Arab. Diantara ahli yang dimaksud adalah Ahmad Amin. Ia menggambarkan bahwa kehidupan orang-orang Arab yang dikungkung oleh gurun pasir Sahara memberikan pengaruh besar terhadap cara hidup mereka. Ketergantungan mereka kepada alam Sahara yang ganas telah memunculkan sikap penyerahan diri terhadap alam tersebut.[4]
Pendapat yang lain mengatakan bahwa paham ini diduga telah muncul sejak sebelum agama Islam datang ke masyarakat Arab. Kehidupan bangsa Arab yang diliputi oleh gurun pasir sahara telah memberikan pengaruh besar dalam cara hidup mereka. Di tengah bumi yang disinari terik matahari dengan air yang sangat sedikit dan udara yang panas ternyata dapat tidak memberikan kesempatan bagi tumbuhnya pepohonan dan suburnya tanaman, tapi yang tumbuh hanya rumput yang kering dan beberapa pohon kuat untuk menghadapi panasnya musim serta keringnya udara.[5]
Lebih lanjut, Harun Nasution (2002: 31) menjelaskan bahwa dalam situasi demikian, masyarakat Arab tidak melihat jalan untuk mengubah keadaan sekeliling mereka sesuai dengan keinginannya sendiri. Mereka merasa lemah dalam menghadapi kesukaran-kesukaran hidup. Akhirnya, mereka banyak bergantung pada kehendak alam. Hal ini membawa mereka kepada sikap fatalisme[6].
Dalam perkembangannya, jabariyah terbagi antara jabariyah ekstrim dan jabariyah moderat. Faham jabariyah terbagi dalam beberapa golongan, yaitu al-jahmiyah, an-najjariyah, dan ad-dhirariyah.[7]
Faham Jabariyah secara nyata menjadi aliran yang disebarkan kepada orang lain pada masa pemerintahan bani Umayah. Dan yang dianggap sebagai pendiri utama adalah Al-Ja’d bin Dirham (w. 124 H). Ja’d semula tinggal di Damsyik, tetapi karena pendapatnya bahwa Al-Qur’an itu makhluk, maka ia selalu dikejar-kejar oleh penguasa bani Umayah, karena itu ia lari ke Kufah dan ia bertemu dengan Jahm bin Sofwan. Kemudian faham ini disebarkan dengan gigih  oleh Jahm bin Shafwan dari Khurasan yang merupakan murid Ja’d bin Dirham. Dalam sejarah teologi Islam, Jahm tercatat sebagai tokoh yang mendirikan aliran Jahmiyah. Ia adalah sekretaris Suraih bin Al-Haris dan selalu menemaninya dalam gerakan melawan kekuasaan Bani Umayah. Dalam perlawanan itu Jahm sendiri dapat ditangkap dan kemudian dihukum mati pada tahun 131 H.[8] Dan dalam perkembangannya pula, faham jabariyah juga dikembangkan oleh tokoh lainnya diantaranya Al-Husain bin Muhammad An-Najjar sebagai pendiri jabariyah an-najjariyah dan Dirar bin Amr sebagai pendiri jabariyah ad-dhirariyah.[9]
Disisi lain berkaitan dengan kemunculan aliran jabariah dalam Islam, ada teori yang mengatakan bahwa kemunculannya diakibatkan oleh pengaruh pemikiran asing, yaitu pengaruh agama yahudi bermahzab qurra dan agama kristen bermahzab yacobit. Akan tetapi, tanpa pengaruh-pengaruh asing itu sesungguhnya paham jabariyah akan muncul di kalangan umat Islam.[10]
Jadi dapat disimpulkan bahwa awal kemunculan aliran Jabariyah selain diakibatkan oleh pengaruh pemikiran asing, sesungguhnya paham tersebut muncul dari kalangan umat Islam sendiri dan tidak terlepas dari dua faktor, yaitu faktor Geografis dan faktor politik pada masa itu.

C.     Pemuka Jabariyah serta Doktrin-doktrin mereka
Jabariyah dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, ekstrim dan moderat. Di antara doktrin Jabariyah ekstrim adalah pendapatnya bahwa segala perbuatan manusia bukan merupakan perbuatan yang timbul dari kemauannya sendiri, tetapi perbuatan yang dipaksakan atas dirinya.[11]
Di antara pemuka Jabariyah ekstrim adalah berikut ini : 
1.      Ja’d bin Dirham
Al-Ja’d adalah seorang Maulana Bani Hakim, tinggal di Damaskus. Ia dibesarkan di dalam lingkungan orang Kristen yang senang membicarakan teologi. Semula ia dipercaya untuk mengajar di lingkungan pemerintah Bani Umayah, tetapi setelah tampak pikiran-pikirannya yang kontroversial, Bani Umayah menolaknya. Kemudian Al-Ja’d lari ke Kufah dan di sana ia bertemu dengan Jahm, serta mentransfer pikirannya kepada Jahm untuk dikembangkan dan disebarluaskan. Ja’d dibunuh pancung oleh Gubernur Kufah yaitu Khalid bin Abdullah Al-Qasri pada tahun 124 H dikarenakan gerakan perlawananya terhadap pemerintahan bani Umayah. Doktrin pokok Ja’d menurut Al-Ghuraby  adalah sebagai berikut:
a.       Tidak pernah Allah berbicara dengan Musa sebagaimana yang disebutkan oleh Q.S An-Nisa ayat 164.
b.      Bahwa Nabi Ibrahim tidak pernah dijadikan Allah kesayangan Nya menurut ayat 125 dari surat Q.S An-Nisa’.
c.       Al-Qur’an itu adalah makhluk.
d.      Allah tidak mempunyai sifat yang serupa dengan makhluk.
e.       Manusia terpaksa oleh Allah dalam segala-galanya.[12]

2.      Jahm bin Shafwan
Nama lengkapnya adalah Abu Mahrus Jahm bin Shafwan. Ia berasal dari Khurasan (Persia), yang kemudian tinggal di Khufah; ia menjabat sebagai sekretaris Harits bin Surais, ia seorang da’i yang fasih dan lincah (orator), ia seorang mawali (mantan budak) yang menentang pemerintah bani Umayah di Khurasan. Ia dibunuh secara politis tanpa ada kaitannya dengan agama pada tahun 128 H. Sebagai seorang penganut dan penyebar faham Jabariyah, banyak usaha yang dilakukan Jahm yang tersebar ke berbagai tempat, seperti ke Tirmidz dan Balk. Doktrin yang berkaitan dengan Teologi adalah :
a.       Bahwa keharusan mendapatkan ilmu pengetahuan hanya tercapai dengan akal sebelum pendengaran. Akal dapat mengetahui yang baik dan yang jahat hingga mungkin mencapai soal-soal metafisika dan ba'ts/dihidupkan kembali di akhirat nanti. Hendaklah manusia menggunakan akalnya untuk tujuan tersebut bilamana belum terdapat kesadaran mengenai ketuhanan. Dengan kata lain Akal sebagai tolak ukuran baik dan buruk.
b.      Surga dan neraka tidak kekal, dan yang kekal hanya Allah.
c.       Iman dalam pengertianya adalah ma’rifat atau membenarkan dengan hati, dan hal ini sama dengan konsep yang dikemukakan oleh kaum Murjiah.
d.      Allah tidak mempunyai keserupaan dengan manusia seperti berbicara, mendengar, dan melihat, dan Tuhan juga tidak dapat dilihat dengan indera mata di akherat kelak.
e.       Manusia tidak mampu untuk berbuat apa-apa, karena manusia terpaksa oleh Allah dalam segala-galanya
f.       Al-Quran itu adalah makhluk. Oleh karena itu dia baru. Sesuatu yang baru itu tidak dapat disifatkan kepada Allah swt.[13]
Berbeda dengan jabariyah ekstrim, jabariyah moderat mengatakan bahwa Tuhan memang menciptakan perbuatan manusia, baik perbuatan yang jahat maupun perbuatan yang baik, tetapi manusia mempunyai bagian di dalamnya. Kemampuan yang diciptakan dalam diri manusia mempunyai efek untuk mewujudkan perbuatannya. Inilah yang dimaksud dengan kasab (usaha). Menurut fahamnya, manusia tidaklah majbur (dipaksa oleh Tuhan).[14] Yang termasuk tokoh jabariyah moderat adalah sebagai berikut: 
1.      An-Najjar
Nama lengkapnya adalah Husain bin Muhammad An-Najjar (w. 210 H). Para pengikutnya disebut An-Najjariyah atau Al-Husainiyah. Diantara doktrin-doktrinnya adalah: 
a.       Tuhan menciptakan segala perbuatan manusia, tetapi manusia mengambil bagian atau peran dalam mewujudkan perbuatan-perbuatan itu.
b.      Tuhan tidak dapat dilihat di akhirat. [15]

2.      Ad-Dhirar
Nama lengkapnya adalah Dhirar bin Amr al-Qadhi (w. 190 H). Awalnya Dhirar beraliran mu’tazilah dan sebagai murid dari Washil bin Atha’, aliran sesat yang ciri khasnya yang memposisikan akal diatas wahyu. Kendati demikian Dhirar memunculkan pendapat-pendapat pribadi yang bertentangan dengan mu’tazilah, dan Dhirar membangun aliran tersendiri yaitu ad-dhirariyah dan mencetuskan pemikiran-pemikiran yang berbeda dengan gurunya. Di antara doktrin-doktrinnya adalah:
a.       Pendapatnya tentang perbuatan manusia sama dengan Husain bin Muhammad An-Najjar, yakni manusia mempunyai bagian dalam perwujudan dari perbuatannya dan tidak semata-mata dipaksa dalam melakukan perbuatannya. 
b.      Mengenai ma’rifat Tuhan di akhirat, Dhirar mengatakan bahwa Tuhan dapat dilihat di akhirat melalui indera keenam. 
c.       Hujjah yang dapat diterima setelah nabi adalah Ijtihad. Hadits ahad tidak dapat dijadikan sumber dalam menetapkan hukum.[16]


BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Aliran Jabariyah adalah aliran sekelompok orang yang memahami bahwa segala perbuatan yang mereka lakukan merupakan sebuah unsur keterpaksaan atas kehendak Tuhan dikarenakan telah ditentukan oleh qadha’ dan qadar Tuhan.
Awal kemunculan aliran Jabariyah selain diakibatkan oleh pengaruh pemikiran asing, sesungguhnya paham tersebut muncul dari kalangan umat Islam sendiri dan tidak terlepas dari dua faktor, yaitu faktor Geografis dan faktor politik pada masa itu.
Jabariyah terbagi dua yaitu jabariyah ekstrim dan jabariyah moderat. Faham jabariyah ekstrim yaitu faham dari golongan al-jahmiyah. Sedangkan jabariyah moderat adalah dari golongan an-najjariyah, dan ad-dhirariyah. Al-jahmiyah dipelopori oleh Jahm bin Shafwan yang mana pemikirinnya dipengaruhi oleh Ja’d bin Dirham. Sedangkan an-najjariyah dipelopori oleh Husain bin Muhammad An-Najjar, dan ad-dhirariyah dipelopori oleh Dhirar bin Amr al-Qadhi.

B.     Saran
Agar sekiranya para pembaca dapat mengambil hikmah serta ibrah dari pembahasan mengenai ajaran aliran jabariyah yang telash penulis sajikan, dan mampu bersikap bijak dalam menghadapi persoalan masalah teologi ini.



DAFTAR PUSTAKA
Al-Ghurabi , Ali Musthafa. 1958. Tarikh Al-Firaq Al-Islamiyah. Kairo: Dar al-Ma’arif
Amin, Ahmad. 1924. Fajr Al-Islam; Maktabah An-Nahdhah Al-Misriyah li Ashhabiba Hasan Muhammad wa Auladih. Kairo: Dar al-Ma’rif
Anwar, Rosihan. 2006. Ilmu Kalam. Bandung: Puskata Setia
Asy-Syahratnasy, Muhammad ibn Abd al-Karim.  Al-Milal wa An-Nihal. Beirut-Libanon: Dar al-Kurub al-‘Ilmiyah
Munawwir, Ahmad Warson. 1997. Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia. Surabaya: Pustaka Progessif
Nasir, Sahiludin A. 1991. Pengantar Ilmu Kalam. Jakarta: Rajawali
Nasution, Harun. 2002. Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan. Jakarta: UI-Press
Razak, Abdul. 2009. Ilmu Kalam. Bandung: Pustaka Setia
Razak, Abdul dan Anwar, Rosihan. 2007.  Ilmu Kalam. Bandung: Pustaka Setia
Yuslem, Nawir. 2013. Metodologi dan Pendekatan Dalam Pengkajian Islam. Bandung: Citapustaka Media



[1] Abdul Razak, Ilmu Kalam, (Bandung: Pustaka Setia, 2009) h. 63
[2] Nawir Yuslem, Metodologi dan Pendekatan Dalam Pengkajian Islam, (Bandung: Citapustaka Media, 2013) h. 121
[3] Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI-Press, 2002), h. 1
[4] Ahmad Amin, Fajr Al-Islam; Maktabah An-Nahdhah Al-Misriyah li Ashhabiba Hasan Muhammad wa Auladihi, kairo, 1924, hlm. 45.
[5] Rosihan Anwar, Ilmu Kalam, (Bandung: Puskata Setia, 2006), cet ke-2, h. 64
[6] Adalah kepasrahan total yang menganggap manusia tidak dapat melakukan apa-apa, tidak memiliki daya, dan dipaksa berbuat oleh Allah swt.
[7] Abdul Razak dan Rosihan Anwar, Ilmu Kalam, (Bandung: Pustaka Setia, 2007) h. 74
[8] Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI Press, 2002), h. 33
[9] Nawir Yuslem, Metodologi dan Pendekatan...., h. 123
[10] Sahiludin A. Nasir, Pengantar Ilmu Kalam, (Jakarta: Rajawali, 1991), h. 133.
[11] Muhammad ibn Abd al-Karim Asy-Syahratnasy, Al-Milal wa An-Nihal, (Beirut-Libanon: Dar al-Kurub al-‘Ilmiyah) h. 85
[12] Ali Musthafa Al-Ghurabi, Tarikh Al-Firaq Al-Islamiyah, (Kairo: Dar al-Ma’arif, 1958)  h. 28-29
[13] Amin Ahmad, Fajr..., h. 286-287.
[14] Harun Nasution, Teologi Islam..., h. 35
[15] Ibid,.
[16] Asy-Syahratnasy, Al-Milal..., h. 74
Baca selengkapnya »»