Selasa, 30 Oktober 2012

Definisi Shalat, Macam-macamnya serta Rukun dan Syarat Sahnya

BAB I
PENDAHULUAN
Shalat merupakan sebuah kewajiban bagi setiap muslim. Kewajiban ini banyak dilalaikan oleh orang-orang Islam pada hari ini sehingga terkadang kita tersenyum heran saat melihat ada sebagian diantara mereka yang shalat seperti anak-anak kecil, tak karuan dan asal-asalan. Semua ini terjadi karena kejahilan tentang agama, taqlid buta kepada orang, dan kurangnya semangat dalam mempelajari Al-Qur’an dan Sunnah Nabi saw.
Banyak diantara kita lebih bersemangat mempelajari dan mengkaji masalah dunia, bahkan ahli dan pakar di dalamnya. Tiba giliran mempelajari agama, dan mengkajinya, banyak diantara kita malas dan menjauh, sebab tak ada keuntungan duniawinya. Bahkan terkadang menuduh orang yang belajar agama sebagai orang kolot, dan terbelakang. Ini tentunya adalah cara pandang yang keliru.
Makalah ini membahas seputar pengertian shalat, sejarah pensyariatan shalat, macam-macam shalat, syarat serta rukun shalat disertai dalil-dalil keterangan bersumberkan Kitab Suci Al-Qur’an dan Sunnah Nabi saw. Semoga makalah ini bermanfaat untuk para pembaca.
Baca selengkapnya »»  

Senin, 29 Oktober 2012

SAINS dan AL-QUR'AN

BAB I

PENDAHULUAN

Al-Qur’an adalah Kalamullah SWT. Didalam Al-Qur’an banyak sekali peristiwa-peristiwa yang menceritakan tentang zaman terdahulu, orang-orang terdahulu, bahkan peristiwa yang mana orang-orang baru mengetahuinya sekarang.

Makalah ini disajikan kepada para pembaca, dengan memohon kepada Allah swt kiranya bermanfaat, mengulas sedikit tentang bagaimana Allah menciptakan hujan dari langit yang mana banyak orang-orang yang tidak memikirkannya.



BAB II

PEMBAHASAN

A. Tentang proses penciptaan hujan dan salju.

“Tidaklah kamu melihat bahwa Allah mengarak awan, kemudian mengumpulkan antara (bagian-bagian)nya, kemudian menjadikannya bertindih-tindih, Maka kelihatanlah olehmu hujan keluar dari celah-celahnya dan Allah (juga) menurunkan (butiran-butiran) es dari langit, (yaitu) dari (gumpalan-gumpalan awan seperti) gunung-gunung, Maka ditimpakan-Nya (butiran-butiran) es itu kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan dipalingkan-Nya dari siapa yang dikehendaki-Nya. Kilauan kilat awan itu Hampir-hampir menghilangkan penglihatan.” (Q.S An-Nur: 43).

C. Asbab An-Nuzul


Tidak semua ayat di dalam Al-Qur’an mempunyai asbabun nuzul (sebab-sebab di turunkanya ayat). Hanya sebagian ayat saja.[1]

D. Tafsir Ayat

{Tidaklah kamu melihat bahwa Allah mengarak awan} menggiringnya secara lembut {kemudian mengumpulkan antara bagian-bagiannya} dengan menghimpun sebagiannya dengan sebagian yang lain, sehingga yang tadinya tersebar kini menjadi satu kumpulan {kemudian menjadikannya bertindih-tindih} yakni sebagiannya di atas sebagian yang lain {maka kelihatanlah olehmu air} hujan {keluar dari celah-celahnya} yakni melalui celah-celahnya {dan Allah juga menurunkan dari langit}. Huruf Min (من) yang kedua ini berfungsi menjadi Shilah atau kata penghubung {yakni dari gunung-gunung yang menjulang padanya} menjulang ke langit; Min Jibaalin (من جبال) menjadi Badal daripada lafal Minas Samaa-i (من السمآء)dengan mengulangi huruf Jarrnya (berupa es) sebagiannya terdiri dari es {maka ditimpakannya es tersebut kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan dipalingkan-Nya dari siapa yang dikehendaki-Nya. Hampir-hampir} hampir saja {kilauan kilat awan itu} yakni cahayanya yang berkilauan {menghilangkan penglihatan} mata yang memandangnya, karena silau olehnya.

Pada ayat ini Allah mengarahkan pula perhatian Nabi saw dan manusia agar merenungkan bagaimana Dia (Allah) menghalau awan dengan kekuasaan-Nya dari suatu tempat ke tempat yang lain kemudian mengumpulkan awan-awan yang berarak itu pada suatu daerah, sehingga terjadilah tumpukan awan yang berat berwarna hitam, seakan-akan awan itu gunung-gunung besar yang berjalan di angkasa. Dengan demikian turunlah hujan lebat di daerah itu dun kadang-kadang hujan itu bercampur dengan es. Bagi kita di bumi ini jarang sekali melihat awan tebal yang berarak seperti gunung-gunung, tetapi bila kita naik kapal udara akan terlihatlah di bawah awan-awan yang bergerak pelan-pelan itu memang seperti gunung-gunung yang menjulang di sana sini dan bila awan itu menurunkan hujan nampak pula dengan jelas sebagaimana air itu turun ke bumi. Dengan hujun lebat itu kadang-kadang manusia di bumi mendapat rahmat dan keuntungan yang besar, karena sawah dan ladang yang sudah kering akibat musim kemarau, menjadi subur kembali dun tumbuhlah berbagai macam tanaman dengan suburnya sehingga manusia dapat memetik hasilnya dengan senang dan gembira.

Tetapi ada pula hujan yang lebat dan terus menerus turunnya dan menyebabkan terjadinya banjir di mana-mana sehingga terendamlah sawah ladang itu bahkan terendamlah suatu kampung seluruhnya, maka hujan lebat itu menjadi malapetaka bagi orang yang ditimpanya bukan sebagai rahmat yang menguntungkan. Semua itu terjadi adalah menurut iradah dan kehendak-Nya, dan sampai sekarang belum ada suatu ilmupun yang dapat mengatur perkisaran angin dan perjalanan awan sehingga tidak akan terjadi banjir dan malapetaka itu. Di mana-mana terjadi topan dan hujan lebat yang membahayakan tetapi para ahli ilmu pengetahuan tetap mengangkat bahu karena tidak dapat mengatasinya. Semua ini menunjukkan kekuasaan Allah, ditimpakan rahmat dan nikmat kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan ditimpakan-Nya musibah dan malapetaka kepada siapa yang dikehendaki-Nya.

Di antara keanehan alam yang dapat dilihat manusia ialah terjadinya kilat yang sambung-bersambung di waktu langit mendung dan dekat dengan turunnya hujan, kejadiannya guruh dan petir yang dahsyat dan bergemuruh. Meskipun ahli ilmu pengetahuan dapat menganalisa sebab musababnya kejadian itu, tetapi mereka tidak dapat menguasai dan mengendalikannya. Bukahkah ini suatu bukti pula bagi kekuasaan Allah ‘Azza wa Jalla.

E. Korelasi Teks

Proses terbentuknya hujan masih merupakan misteri besar bagi orang-orang dalam waktu yang lama. Baru setelah radar cuaca ditemukan, bisa didapatkan tahap-tahap pembentukan hujan.

Pembentukan hujan berlangsung dalam tiga tahap. Pertama, "bahan baku" hujan naik ke udara, lalu awan terbentuk. Akhirnya, curahan hujan terlihat.

Tahap-tahap ini ditetapkan dengan jelas dalam Al-Qur’an berabad-abad yang lalu, yang memberikan informasi yang tepat mengenai pembentukan hujan.

Kini, mari kita amati tiga tahap yang disebutkan dalam ayat ini.

Tahap ke-1 : "...Tidaklah kamu melihat bahwa Allah mengarak awan…"

Gelembung-gelembung udara yang jumlahnya tak terhitung yang dibentuk dengan pembuihan di lautan, pecah terus-menerus dan menyebabkan partikel-partikel air tersembur menuju langit. Partikel-partikel ini, yang kaya akan garam, lalu diangkut oleh angin dan bergerak ke atas di atmosfir. Partikel-partikel ini, yang disebut aerosol, membentuk awan dengan mengumpulkan uap air di sekelilingnya, yang naik lagi dari laut, sebagai titik-titik kecil dengan mekanisme yang disebut "perangkap air".

Tahap ke-2 : “...kemudian mengumpulkan antara (bagian-bagian)nya, kemudian menjadikannya bertindih-tindih..."

Awan-awan terbentuk dari uap air yang mengembun di sekeliling butir-butir garam atau partikel-partikel debu di udara. Karena air hujan dalam hal ini sangat kecil (dengan diamter antara 0,01 dan 0,02 mm), awan-awan itu bergantungan di udara dan terbentang di langit. Jadi, langit ditutupi dengan awan-awan.

Tahap ke-3 : "…Maka kelihatanlah olehmu hujan keluar dari celah-celahnya dan Allah (juga) menurunkan (butiran-butiran) es dari langit…"

Partikel-partikel air yang mengelilingi butir-butir garam dan partikel -partikel debu itu mengental dan membentuk air hujan. Jadi, air hujan ini, yang menjadi lebih berat daripada udara, bertolak dari awan dan mulai jatuh ke tanah sebagai hujan.

F. Penjelasan


Semua tahap pembentukan hujan telah diceritakan dalam ayat-ayat Al-Qur’an. Selain itu, tahap-tahap ini dijelaskan dengan urutan yang benar. Sebagaimana fenomena-fenomena alam lain di bumi, lagi-lagi Al-Qur’anlah yang menyediakan penjelasan yang paling benar mengenai fenomena ini dan juga telah mengumumkan fakta-fakta ini kepada orang-orang pada ribuan tahun sebelum ditemukan oleh ilmu pengetahuan.

Para ilmuwan yang mempelajari jenis-jenis awan mendapatkan temuan yang mengejutkan berkenaan dengan proses pembentukan awan hujan. Terbentuknya awan hujan yang mengambil bentuk tertentu, terjadi melalui sistem dan tahapan tertentu pula. Tahap-tahap pembentukan kumulonimbus (sejenis awan hujan) adalah sebagai berikut:

Ø Pergerakan awan oleh angin:

Awan-awan dibawa, dengan kata lain, ditiup oleh angin.

Ø Pembentukan awan yang lebih besar:

Kemudian awan-awan kecil (awan kumulus) yang digerakkan angin, saling bergabung dan membentuk awan yang lebih besar.

Ø Pembentukan awan yang bertumpang tindih:

Ketika awan-awan kecil saling bertemu dan bergabung membentuk awan yang lebih besar, gerakan udara vertikal ke atas terjadi di dalamnya meningkat. Gerakan udara vertikal ini lebih kuat di bagian tengah dibandingkan di bagian tepinya. Gerakan udara ini menyebabkan gumpalan awan tumbuh membesar secara vertikal, sehingga menyebabkan awan saling bertindih-tindih. Membesarnya awan secara vertikal ini menyebabkan gumpalan besar awan tersebut mencapai wilayah-wilayah atmosfir yang bersuhu lebih dingin, di mana butiran-butiran air dan es mulai terbentuk dan tumbuh semakin membesar. Ketika butiran air dan es ini telah menjadi berat sehingga tak lagi mampu ditopang oleh hembusan angin vertikal, mereka mulai lepas dari awan dan jatuh ke bawah sebagai hujan air, hujan es, dsb.

Kita harus ingat bahwa para ahli meteorologi hanya baru-baru ini saja mengetahui proses pembentukan awan hujan ini secara rinci, beserta bentuk dan fungsinya, dengan menggunakan peralatan mutakhir seperti pesawat terbang, satelit, komputer, dsb. Sungguh jelas bahwa Allah telah memberitahu kita suatu informasi yang tak mungkin dapat diketahui 1400 tahun yang lalu.


REFERENSI


Imam Jaluluddin Suyuthi & Jalaluddin Mahalli. Tafsir Jalalain. Pustaka Elba

Kementerian Agama RI. 2010. Al-Qur’an dan Tafsirnya. Jakarta: Darus Sunah

Mahir Ahmad Ash-Shufi. 2006. Kemukjizatan Penciptaan Bumi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya

Muhammad Thalib. 2008. Tarjamah Tafsiriyah Al-Qur’anul Karim. Bandung: PT Syamil Cipta Media

 ___________________________
[1] Lihat Kitab Lubabun Nuqul fii Asbaab Annuzul, Karya As-Suyuthi

Baca selengkapnya »»  

Lanjutan Puasa (Hikmah serta Filosofi Puasa)

BAB I
PENDAHULUAN

 Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam, shalawat dan salam selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad saw, juga atas segenap keluarga dan semua orang yang mengikuti petunjuknya.

Makalah ini disajikan kepada para pembaca, dengan memohon kepada Allah swt kiranya bermanfaat, mengulas sedikit tentang Lanjutan Puasa yang mencakup Puasa Sunnah, Puasa Haram, Hal-hal yang Membatalkan puasa, Hikmah puasa serta Filosofi Puasa.


BAB II
PEMBAHASAN

A. Puasa

1. Puasa Sunnah[1]

a. Hari Arafah bagi selain orang yang berhaji, yaitu pda tanggal 9 Dzulhijah. Nabi bersabda:

“Puasa hari Arafah itu menghapus dosa-dosa dua tahun setahun yang silam dan setahun yang akan datang. Dan puasa hari Asyura’ itu mengahpus dosa sebelumnya.” (HR. Muslim).

b. Puasa Tasu’a dan puasa Asyura’, yaitu tanggal 9 dan 10 bulan Muharram. Sebagaimana Nabi berpuasa pada hari Asyura’ dan memerintahkannya, beliau bersabda:

“Jika sampai tahun depan Insya Allah kita puasa Tasu’a.”

c. Puasa enam hari di bulan Syawwal. Rasulullah bersabda:

“Barangsiapa berpuasa di bulan Ramadhan dan meneruskannya enam hari di bulan Syawwal, maka ia seperti berpuasa sepanjang tahun”. ( HR. Muslim).

d. Puasa pada paruh pertama bulan Sya’ban. ‘Aisyah r.a berkata: “aku tidak pernah melihat Rasulullah saw berpuasa sebulan penuh kecuali di bulan ramadhan dan aku tidak pernah melihat beliau lebih banyak berpuasa kecuali di bulan Sya’ban.” (HR. Muslim).

e. Puasa sepuluh pertama bulan Dzulhijah. Rasulullah bersabda:

“Tidak ada hari-hari dimana amal shalih di dalamnya lebih dicintai Allah dari pada hari-hari ini –sepuluh pertama bulan Dzulhijah-. “para sahabat berkata: “Wahai Rasulullah, tidak pula jihad di jalan Allah?” Rasulullah bersabda: “Tidak pula jihad di jala Allah melainkan seseorang keluar dari dirinya dan hartanya, kemudian tidak ada sedikitpun dari padanya yang kembali.” (Mutafaqqun ‘Alaih).

f. Puasa bulan Muharram. Nabi ditanya sahabat tentang puasa apa yang lebih baik setelah bulan ramadhan. Nabi bersabda:

“Bulan Allah yang kalian namakan Muharram.” (HR. Bukhari).

g. Puasa hari-hari putih dalam setiap bulan, yaitu tanggal 13, 14, 15 setiap bulan Hijriyah. Rasulullah bersabda:

“Puasa hari-hari tersebut (hari putih) seperti berpuasa sepanjang tahun.” (HR. Nasa’i dan Ibnu Hibban men-shahih-kan ini).

h. Puasa hari Senin dan Kamis. Rasulullah bersabda:

“Sesungguhnya amal perbuatan diperlihatkan pada setiap hari Senindan Kamis, kemudian Allah mengampuni setiap orang Muslim atau Mukmin kecuali dua yang saling mendiamkan. Allah berfirman : “Tundalah pengampunan terhadap keduanya.” (HR. Ahmad dan sanad hadist ini hasan).

i. Puasa sehari dan tidak puasa sehari. Rasulullah bersabda:

“Puasa yang paling dicintai Allah ialah puasa Daud…” (Mutafaqqun ‘Alaih).

j. Puasa bagi bujangan yang belum mampu menikah. Nabi bersabda:

“…barangsiapa yang tidak mampu menikah, hendaklah ia berpuasa, karena berpuasa adalah wija’ (mengendurkan gejolak syahwat) baginya.” (HR. Bukhari).

2. Puasa Haram

a. Puasa dua hari raya (idul fitri dan idul adha). “Dua hari yang dilarang Rasulullah untuk berpuasa yaitu hari kalian berbuka dari puasa kalian, dan hari dimana kalian memakan hewan kurban kalian.” (HR. Muslim).

b. Puasa pada hari Tasyriq, yaitu tiga hari berturut-turut setelah hari raya adha. Rasululah bersabda:

“Janganlah kalian berpuasa pada hari ini, karena ia merupakan hari makan-minum dan mengingat Allah ‘Azza wa Jalla “ (HR. Ahmad dengan isnad hasan).[2]

c. Puasa ketika menjalani haid dan nifas bagi wanita, karena ijma’ ulama menegaskan tentang hal ini. Rasulullah bersabda:

“Bukankah jika wanita menjalani haid itu tidak shalat dan tidak puasa.? Itulah bentuk kekurangan dalam agamanya.” (HR. Bukhari).

d. Puasa orang yang sakit dikhawatirkan meninggal dunia karena puasanya.[3] Allah swt berfirman:

“Dan janganlah kalian membunuh diri kalian, sesungguhnya Allah Maha Penyayang pada kalian.” (Q.S An-Nisa’: 29)

e. Puasa mengkhususkan pada hari Jum’at. Nabi bersabda:

“Sesungguhnya hari Jum’at itu merupaka hari raya kalian, maka janganlah kalian puasa di dalamnya, kecuali kalian berpuasa di hari sebelumnya atau sesudahnya.” (HR. Bazzar dengan sanad yang baik)[4]

f. Puasa Wishal, yaitu meneruskan puasa selama dua hari atau lebih tanpa berbuka. Nabi bersabda:

“Tinggalkanlah dari kaliah puasa wishal.” (Mutafaqqun ‘Alaih).

g. Puasa pada hari yang diragukan. Yaitu pda tanggal 30 Sya’ban, karena Rasulullah bersabda:

“Baragsiapa berpuasa pada hari yang diragukan, sungguh ia telah durhaka kepada Abu Al-Qashim (Rasulullah saw).” (HR. Ash-Habus Sunan)[5]

h. Puasa sepanjang tahun tanpa berbuka. Nabi bersabda:

“Tidaklah berpuasa orang yang berpuasa selama-lamanya.” (HR. Muslim).

i. Puasa istri tanpa izin suaminya, padahal suaminya ada di tempat (rumah). Nabi bersabda:

“Janganlah istri berpuasa satu hari saja, sedang suaminya berada di rumah melainkan dengan izinnya, kecuali puasa Ramadhan.” (Mutafaqun ‘Alaih).

B. Hal-hal yang Membatalkan Puasa

1. Masuknya sesuatu kedalam perut melalui manapun dengan disengaja.

2. Keluarnya air mani dengan sengaja

3. Muntah dengan sengaja

4. Melakukan hubungan suami-istri

5. Dipaksa makan, minum dan hubungan suami-istri

6. Haidh dan nifas

7. Murtad dari Islam. Allah berfirman:

“Jika kamu mempersekutuan (Rabb), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orng-orng yang merugi.” (Q.S Az-Zuma: 65).

Semua pembatal diatas membatalkan puasa dan wajib penggantian puasa. Hanya saja tidak ada kafarat[6] di dalamnya, sebab kafarat tidak diwajibkan kecuali terhadap dua pembatal, yaitu:

1. Jima’ (melakukan hubungan suami-istri).

2. Makan dan minum tanpa udzur yang diperbolehkan.

C. Hikmah Puasa[7]

· Hikmah dari segi spiritual:

1. Membiasakan orang yang berpuasa untuk bersabar

2. Menguatkan kesabarannya

3. Mengajarkan dan membantu pengendalian diri,

4. Memunculkan sifat takwa dalam diri.

· Hikmah dari segi sosial:

1. Membiasakan umat Islam teratur

2. Bersatu,

3. Akhlak berbuat baik,

4. Melindungi masyarakat dari keburukan dan kerusakan

· Himah dari segi kesehatan:

1. Membersihkan usus-usus

2. Memperbaiki lambung,

3. Membersihkan badan dari kotoran-kotoran,

4. Meringankan badan dari himpitan kegemukan. Rasulullah bersabda:

“Puasalah kalian, niscaya kalian sehat.” (HR. Ibnu As-Sunni dan Abu Nu’aim. As-Suyuthi meng-hasan-kan hadist ini).

D. Filosofi Puasa

Tradisi puasa jauh sebelum diwajibkan untuk umat Islam, telah dilaksanakan oleh beberapa Nabi terdahulu, walaupun dengan model dan format yang berbeda, tetapi secara substansial memiliki kesamaan dengan kewajiban puasa dalam Islam, agar manusia “bertakwa”, dalam pengertian universalnya. Menjadikan puasa sebagai yang tersebut diatas, harus dilakukan dengan pemahaman yang mendalam tentang hakikat puasa itu sendiri. Puasa selanjutnya harus dipahami sebagai upaya membentuk keshalehan individual dan keshalehan sosial, berdasarkan konsep kesadaran ketuhanan yang menjadi tujuan utama puasa, terlepas dari dampak fisiologis-jasmaniah puasa.

Dengan berpuasa, melalui pemaknaan essensial terhadapnya, manusia diharapkan dapat merefleksikan kondisi real penderitaan kaum miskin dan orang-orang mustadz’ifin dalam perjumpaan mereka dengan realitas ke dalam mainstream individual, merasakan penderitaan mereka untuk kemudian mengkonstruksikan sebuah komitmen moral, bahwa sungguh kemiskinan adalah musuh objektif kemanusiaan.

Puasa adalah suatu upaya akhlak engineering menuju terbentuknya sebuah kesadaran ketuhanan (god consciousness).Jika demikian halnya, maka berpuasa dapat dijadikan sebagai solusi alternative untuk mewujudkan masyarakat yang berperadaban damai dengan karakter humanis.[8]

DAFTAR PUSTAKA

Jabir Al-Jazairi, Abu Bakar. 2007. Ensiklopedi Muslim. Jakarta Timur: Darul Falah

Rasyid, Sulaiman. 1955. Fiqh Islam. Jakarta: At-Tahirijah

Sabiq, Sayyid. 1982. Fikih Sunnah 3. Bandung: PT Al-Ma’arif

Thalib, Muhammad. 2005. 120 Amaliah Sunnah dan Pahalanya. Solo: YPIA Al-Mukmin


__________________________
[1] Lihat Ensiklopedi Muslim bab puasa-puasa yang disunnahkan.

[2] Lihat Fikih Sunnah(3/188/184).

[3] Lihat Ensiklopedi Muslim bab puasa-puasa yang diharamkan.

[4] Lihat Fikih Sunnah(3/190/187).

[5] Idem(3/193/191).

[6] Kafarat ialah sesuatu yang menghapus dosa karena tidak taat kepada pembuat syari’at (Allah ‘Azza wa Jalla).

[7] Lihat Ensiklopedi Muslim bab hikmah puasa.

Baca selengkapnya »»  

Minggu, 28 Oktober 2012

Ayat-ayat yang Memiliki Asbabunnuzul


Berikut ini adalah ayat-ayat Al-Qur'an yang memiliki Asbabunnuzul (sebab-sebab diturunkannya Ayat), Berdasarkan Kitab lubabunNuqul fii asbaab annuzul Karya Suyuthi.


Al Baqarah
Ali Imran ayat 12-13, 23-24, 26, 28-29, 31, 58-62, 65, 72, 71-73, 77, 79-80, 86-89, 97, 100, 113, 115, 118, 121, 122, 128, 130, 140, 143, 144, 154, 161, 165, 169, 172, 174, 181, 186, 188, 190, 195, 199.

An Nisa`
ayat 4, 7, 11, 19, 22, 23, 24, 32, 34, 37, 39, 43, 44, 47, 48, 49, 51-54, 58, 59, 60, 65, 66, 69, 77, 83, 88, 90, 92, 93, 94, 95, 97, 98, 100, 101, 102, 105, 123, 127, 128, 148, 153, 163, 166, 176.
Al Maidah
ayat 2, 3, 4-5, 6-10, 11-14, 15-16, 18-32,33-37, 38-40, 41-48, 49-50, 51, 55-56, 57-63, 64-66, 67, 68-82, 82-86, 87-89,90-99, 100, 101-105, 106-108
Al An'am
ayat 19-25, 26-32, 33-51, 52-53/ 51-55/ , 54, 65-67, 82, 91, 94, bersambung..
Al A'raf
ayat 31 -33, 184, 187, 204,
Al Anfaal
ayat 1, 5, 9, 17, 19, 27, 30, 31, 32, 33, 34, 35, 36, 47, 49, 55, 58, 64, 67, 68, 70, 73, 75
At Taubah
Yunus
ayat 2
Huud
ayat 5, 8, 114.
Yusuf
ayat 3
Ar Ra'd
ayat 13, 31, 38, 39.
Ibrahim
ayat 28
Al Hijr
ayat 24, 43, 45, 47, 49-50, 95.
An Nahl
ayat 1, 38, 41, 75, 83, 91, 92, 103, 106, 126.
Al Isra'
ayat 15, 26, 28, 29, 45, 56, 59, 60, 73, 75, 76, 80, 85, 88, 90-93 ,110, 111.
Al Kahfi
ayat 6,18,23-24, 25, 28, 85, 109, 110.
Maryam
ayat 64, 77, 96.
Thaha
ayat 1-2, 105, 114, 131.
Al Anbiya`
ayat 6, 34, 36, 98, 101.
Al Hajj
ayat 3, 11, 19, 22, 25, 27, 37, 39, 52, 60.
Al Mu`minun
ayat 2, 12, 14, 67, 76.
An Nuur
ayat 3, 6, 9, 11-24, 26,27, 31, 33, 48, 55, 61, 62, 63.
AlFurqan
ayat 10, 20, 27, 32, 68, 70.
as Syu'ara
ayat 205-207, 214, 215, 224, 227.
An Naml
ayat ....
Al Qashash
ayat 51, 52, 56, 57, 61, 85.
Al Ankabut
ayat 1-2, 6, 8, 10, 51, 60, 67, 69.
An Rum
ayat 1-2, 5, 27, 28.
Luqman
ayat 6, 27, 34.
as Sajdah
ayat 16, 18, 28.
Al Ahzab
ayat 1, 4, 5, 9, 12, 23, 28, 35, 36, 37, 40, 43, 47, 50, 51, 52, 53, 56, 57, 59.
As Saba
ayat 15, 34.
Fathir
ayat 8, 29, 35, 42.
Yaasin
ayat 1-2, 8, 9, 12, 77.
Ash Shaffat
ayat 64, 158, 165, 176.
Shad
ayat 1, 8.
Az Zumar
ayat 3, 9, 17-18, 23, 36, 45, 53, 60, 64, 66, 67.
Al Mu`min
ayat 4, 56, 57, 66.
Fushilat
ayat 22, 40, 44.
As Syura
ayat 16, 23, 24, 25, 26, 27.
Az Zukhruf
ayat 19, 31, 36, 57, 80.
Ad Dukhan
ayat 10, 15, 16, 43-44, 49.
AL Jatsiyah
ayat 23, 24.
A Ahqaf
ayat 10, 11, 19, 17, 29-32.
Muhammad
ayat 1, 2, 4, 13, 16, 33.
Al Fath
ayat 2, 5, 18, 24, 25, 27.
Al Hujurat
ayat 1-6, 8, 9, 11, 12, 13, 17.
Qaf
ayat 38-39, 45
Adz Dzariyat
ayat 19, 54, 55
AT tHUR
AYAT 30.
An Najm
Ayat 32, 33, 41, 61.
Al Qamar
ayat 1, 2, 45, 47, 49.
Ar Rahman
ayat 46.
Al Waqi'ah
ayat 1, 13-14,27 dst, 39-40, 75, 82.
Al Hadid
ayat 16, 28, 29.
Al Mujadilah
ayat 1 dst, 8, 10, 11, 12, 13, 14, 18, 22.
Al Hasyr
ayat 1, 5, 9, 11.
Al Mumtahanah
ayat 1, 10, 11, 13.
As Shaff
ayat 1-2, 10, 11.
al Jumu'ah
ayat 11
Al Munaafiquun
ayat 1 dst , 5, 6.
At Taghabun
ayat 14, 16.
At Thalaq
ayat 1, 2, 4.
at Tahrim
ayat 1-5
Al Mulk
ayat ....
Al Qalam
ayat 2, 4, 10, 11-12, 13, 17.
Al Haqqah
ayat 12
Al Ma'arij
ayat 1,2.
Nuh
ayat ...
Al Jin
ayat 1, 6 dst, 16, 18, 22.
Al Muzammil
ayat 1 dst, 20.
Al Muddatstsir
ayat 1-2, 7, 11, 30, 31, 52.
Al Qiyamah
ayat 16, 30, 34-35.
Al Insan
ayat 8, 20, 24.
Al Mursalat
ayat 48.
An Naba'
ayat 1-2
AnNazi'at
ayat 10, 12, 42 dst.
'Abasa
ayat 1-2, 17.
at Takwir
ayat 28, 29.
Al Infithar
ayat 6.
Al Muthaffifin
ayat 1.
Al Insyiqaaq
ayat ...
Al Buruj
...
At Thariq
ayat 5
Al A'la
ayat 6.
Al Ghasiyah
ayat 17.
Fajr
ayat 27.
Al Balad
ayat ...
as Syams
ayat....
Al lail
ayat 1-akhir surat
Ad Dhuha
ayat 1-3,4, 5.
Al Insyirah
ayat 6.
At Tin
ayat 5.
Al 'Alaq
ayat 1-5, 6 dst., 16, 17-18.
Al Qadr
ayat 1-3.
Al Bayyinah
ayat ...
Al Zalzalah
ayat 7-8
Al 'Adiyat
ayat 1.
Al Qari'ah
ayat ....
At Takatsur
ayat 1-4.
Al 'Ashr
ayat
Al Humazah
ayat 1-selesai
Al fil
Al Quraisy
ayat 1
Al Ma'un
ayat 4.
al Kautsar
ayat 1-akhir
Al Kafirun
ayat 1-akhir
An Nashr
ayat 1-akhir
Al lahab
ayat 1-akhir
Al ikhlas
ayat 1-akhir
Al falaq dan Annas
1-akhir

Read more: Ayat Ayat Yang Memiliki Asbabunnuzul - IslamWiki | Tentang Islam http://islamwiki.blogspot.com/2010/05/ayat-ayat-yang-memiliki-asbabunnuzul.html#ixzz2AaH38UsE
Under Creative Commons License: Attribution
Baca selengkapnya »»  

Selasa, 16 Oktober 2012

Seputar Najis



NAJIS dan PEMBAHASANNYA

Makalah ini disusun guna memenuhi tugas Mata Kuliah Fiqih

Dosen Pengampu :

Fairus Sabiq , M.Ag

Disusun Oleh

Mahendra Arief Khan

113111224

FAKULTAS TARBIYAH DAN BAHASA

JURUSAN TARBIYAH

PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SURAKARTA

2012
Baca selengkapnya »»  

Senin, 15 Oktober 2012

Dialektika Islam dengan Budaya Jawa



KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmaanirrahiim.

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh.

Segala puja dan puji hanya milik Allah SWT, Rabb semesta alam atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya kami selaku mahasiswa sekaligus penyusun dapat menyelesaikan makalah dengan judul “Dialektika Islam dengan Budaya Jawa”. Salawat serta salam mudah-mudahan selalu tercurah kepada rasul kita tercinta Muhammad SAW, keluarga, sahabat, dan para pengikutnya yang setia sampai akhir zaman.

Kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu kami khususnya kepada bapak Yedi Purwanto, selaku dosen mata kuliah Agama dan Etika Islam, dimana beliau telah membimbing kami hingga karya yang kecil ini dapat diselesaikan.

Dalam makalah ini kami membahas tentang hubungan yang terjadi antara Islam dengan kebudayaan jawa. Semua ini disusun berdasarkan isi serta pemahaman kami yang didukung oleh sumber lain tentang permasalahan tersebut.

Dalam penyusunan karya kecil ini tidak sedikit hambatan yang kami hadapi. Kami sangat menyadari bahwa makalah ini sangat jauh dari kesempurnaan, meskipun demikian mudah-mudahan karya yang kecil ini bisa bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkannya terutama teman-teman dan pembaca sekalian. Amin. Oleh karena itu, kami sangat membutuhkan kritik dan saran demi perbaikan di masa yang akan datang.

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................................... i

DAFTAR ISI................................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang................................................................................................ 1

1.2 Identifikasi Masalah....................................................................................... 1

1.3 Maksud dan Tujuan........................................................................................ 2

1.4 Metode Penelitian........................................................................................... 2

1.5 Kegunaan Hasil Penelitian.............................................................................. 2

1.6 Sistematika penulisan...................................................................................... 3

BAB II PEMBAHASAN.............................................................................................. 4

2.1 Islam dan Budaya........................................................................................... 4

2.1.1 Definisi Budaya............................................................................ 4

2.1.2 Budaya Menurut Islam................................................................. 5

2.2 Fase-fase Perkembangan Budaya Jawa.......................................................... 7

2.2.1 Kebudayaan Jawa Pra-Hindu-Budha........................................... 7

2.2.2 Kebudayaan Jawa Masa Hindu-Budha........................................ 8

2.2.3 Kebudayaan Jawa Masa Kerajaan Islam.................................... 10

2.3 Interaksi Islam dengan Budaya Jawa........................................................... 11

2.4 Bentuk-bentuk Akulturasi Islam dengan Budaya Jawa............................... 13

BAB III PENUTUP..................................................................................................... 15

3.1 Kesimpulan................................................................................................... 15

3.2 Saran............................................................................................................. 16

DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................. 17

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dalam studi antropologi, istilah culture (budaya) dibedakan dengan istilah civilization (peradaban). Makna culture atau kebudayaan secara etimologis berkaitan dengan sesembahan yang dalam bahasa latin berarti “cultus” dan “culture”. Sementara, peradaban atau civilization berkaitan dengan kata “cives” yang berarti warganegara. Apabila budaya adalah pengaruh agama terhadap diri manusia, maka peradaban adalah pengaruh akal pada alam.

Sistem kebudayaan terdiri atas nilai-nilai budaya berupa gagasan yang sangat berharga bagi proses kehidupan. Oleh karena itu, nilai budaya dapat menentukan karakteristik suatu lingkungan kebudayaan di mana nilai tersebut dianut. Nilai budaya langsung atau tidak langsung tentu akan diwarnai oleh tindakan-tindakan masyarakatnya serta produk kebudayaan yang bersifat materiil.

Dengan kerangka seperti ini dapat digunakan untuk memprediksi karakteristik budaya Jawa dalam kaitannya dengan sistem teologi Islam yang berkembang, dan melakukan interaksi timbal-balik di dalamnya. Islam sebagai sebuah sistem ajaran agama akan selalu berdialog dengan budaya lokal di mana Islam berada.

1.2 Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, kita dapat mengidentifikasi rumusan permasalahan yang akan dibahas dan disajikan dalam laporan ini. Adapun rumusan permasalahannya adalah sebagai berikut

1. Apakah definisi budaya serta budaya menurut Islam?

2. Bagaimana fase-fase perkembangan budaya Jawa?

3. Bagaimana interaksi Islam dengan budaya Jawa?

4. Bagaimana bentuk akulturasi Islam dengan budaya Jawa?

1.3 Maksud dan Tujuan

Maksud disusunnya makalah ini adalah untuk memenuhi tugas akhir mata kuliah Agama dan Etika Islam.

Adapun tujuan dari penyusunan karya tulis ini adalah sebagai berikut:

1. Menjelaskan definisi budaya dan menjelaskan budaya menurut Islam.

2. Mengetahui fase-fase perkembangan budaya Jawa.

3. Mengetahui interaksi Islam dengan budaya Jawa.

4. Mengetahui bentuk akulturasi Islam dengan budaya Jawa.

1.4 Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penyusunan makalah ini adalah metode deskriptif, berupa studi kasus untuk mencari gambaran dialektika Islam dengan kebudayaan Jawa dan mempelajari kasus tersebut secara mendalam.

Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan :

1. melalui internet, yaitu memanfaatkan kemajuan teknologi untuk mencari sumber-sumber terkait yang berhubungan dengan objek yang diteliti melalui web.

2. studi kepustakaan adalah pengumpulan buku-buku sumber untuk mendapatkan landsan teori yang berkaitan dengan obyek yang diteliti sehingga dapat membandingkan teori dengan fakta yang ada.

1.5 Kegunaan Hasil Penelitian

Hasil Penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi semua pihak, yaitu:

Bagi Penulis

Sebagai sarana untuk memperoleh pengalaman dan pemahaman yang lebih mendalam, khususnya mengenai dialektika Islam dengan kebudayaan Jawa.

Bagi Pembaca

Semoga hasil penelitian ini, dapat dijadikan bahan untuk menambah wawasan dan pengetahuan tentang dialektika Islam dengan kebudayaan Jawa. Dan sebagai bahan acuan untuk penelitian lebih lanjut.

1.6 Sistematika Penulisan

Kata Pengantar

Daftar Isi

BAB I Pendahuluan

1.1 Latar Belakang

1.2 Identifikasi Masalah

1.3 Maksud dan Tujuan

1.4 Metode Penelitian

1.5 Kegunaan Hasil Penelitian

1.6 Sistematika Penulisan

BAB II PEMBAHASAN

2.5 Islam dan Budaya

2.5.1 Definisi Budaya

2.5.2 Budaya Menurut Islam

2.6 Fase-fase Perkembangan Budaya Jawa

2.6.1 Kebudayaan Jawa Pra-Hindu-Budha

2.6.2 Kebudayaan Jawa Masa Hindu-Budha

2.6.3 Kebudayaan Jawa Masa Kerajaan Islam

2.7 Interaksi Islam dengan Budaya Jawa

2.8 Bentuk-bentuk Akulturasi Islam dengan Budaya Jawa

BAB Iii Penutup

3.3 Kesimpulan

3.4 Saran

Daftar Pustaka

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Islam dan Budaya

2.1.1 Definisi Budaya

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, budaya didefinisikan sebagai pikiran, akal budi; adat istiadat; sesuatu yg sudah menjadi kebiasaan yg sudah sukar diubah. Sedangkan, kebudayan dapat diartikan sebagai hasil kegiatan dan penciptaan batin (akal budi) manusia seperti kepercayaan, kesenian, dan adat istiadat; keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang digunakan untuk memahami lingkungan serta pengalamannya dan yang menjadi pedoman tingkah lakunya.

Menurut Koentjarajakti, kebudayaan terdiri dari dua komponen pokok, yaitu komponen isi dan komponen wujud. Komponen wujud dari kebudayaan terdiri atas sistem budaya berupa ide dan gagasan serta sistem sosial berupa tingkah-laku dan tindakan. Secara singkat dapat dijelaskan bahwa komponen wujud terbentuk dari tiga aspek, yaitu ide, gagasan, dan tingkah laku. Adapun komponen isi terdiri dari tujuh unsur universal, yaitu bahasa, sistem teknologi, sistem ekonomi, organisasi sosial, ilmu pengetahuan, agama, dan kesenian. Ketujuh unsur ini saling berkolaborasi dalam penyusunan terbentuknya komponen isi.

Sistem kebudayaan terdiri atas nilai-nilai budaya berupa gagasan yang sangat berharga bagi proses kehidupan. Oleh karena itu, nilai budaya dapat menentukan karakteristik suatu lingkungan kebudayaan di mana nilai tersebut dianut. Nilai budaya langsung atau tidak langsung tentu akan diwarnai oleh tindakan-tindakan masyarakatnya serta produk kebudayaan yang bersifat materiil. Pola interaksi semacam ini dapat digambarkan dalam alur skema interaktif sebagai berikut. Nilai Budaya à Norma à Pola Pikir à Sikap à Tindakan. Dapat dijelaskan lebih lanjut bahwa nilai budaya akan terbentuk dari norma yang berlaku dalam masyarakat, sementara norma itu sendiri lahir akibat adanya pola pikir. Pola pikir yang muncul dalam masyarakat akan membentuk sikap dan sikap akan menghasilkan tindakan atau perbuatan.

2.1.2 Budaya Menurut Islam

Islam, agama yang sesuai dengan fitrah semula jadi manusia, maka syariatnya bukan saja mendorong manusia untuk mempelajari sains dan teknologi, kemudian membangun dan membina peradaban, dalam hal ini budaya, bahkan mengatur umatnya ke arah itu agar selamat dan menyelamatkan baik di dunia lebih-lebih lagi di akhirat kelak.

Peradaban, dalam hal ini kebudayaan, biasanya dikaitkan dengan pembangunan atau kemajuan lahiriah (material) saja, seperti peralatan-peralatan, permesinan, sistem transportasi dan komunikasi yang canggih, bangunan-bangunan yang indah dan kokoh, infrastruktur yang serba lengkap dan sebagainya.

Islam memiliki sudut pandang yang berbeda tentang peradaban dan kebudayaan. Islam melihatnya dari aspek rohaniah, akaliah dan lahiriah sekaligus. Peradaban rohaniah adalah aset yang paling penting. Manusia yang membangun dan berkemajuan, yang bertaqwa, itulah yang harus diutamakan, bukan benda material hasil pembangunan itu. Ini sesuai dengan firman Allah SWT yaitu: “Sesungguhnya pada diri manusia itu adalah sebaik-baik kejadian.”

Anggapan yang salah yang mengatakan bahawa keagungan peradaban dan kebudayaan Islam itu terletak pada keluasan wilayah kekuasaannya, walaupun Islam pernah menguasai tiga per empat dunia. Peradaban serta kebudayaan Islam juga bukan terletak pada bangunan-bangunannya yang tinggi, indah, cantik, canggih dan unik, walaupun umat islam pernah membangunkan bangunan-bangunan seperti itu yang sampai sekarang dikagumi orang Islam dan bukan Islam.

Peradaban dan kebudayaan Islam juga bukan terletak pada ilmu-ilmunya yang sangat luas, sains yang maju, teknologi yang sangat canggih, walaupun ilmuwan dan teknolog Islam pernah menjadi pusat keunggulan (center of excellence) dalam berbagai bidang sains dan teknologi selama ratusan tahun. Peradaban dan kebudayaan Islam juga bukan terletak pada kekayaannya yang melimpah ruah, walaupun Islam pernah membentuk pemerintahan yang kukuh kedudukan ekonominya dan memiliki harta yang melimpah ruah.

Tanpa Al-Quran dan As-Sunnah pun sejarah telah membuktikan manusia mampu membangun kerajaan yang luas, gedung-gedung yang tinggi, indah, canggih dan gagah, infrastruktur yang modern dan menguasai sains dan teknologi yang canggih serta memiliki kekayaan. Bangsa Romawi, Persia, Yunani, Fir’aun dan Barat sekarang ini telah membuktikannya. Tetapi ini tidak berarti mereka memiliki peradaban yang unggul di sisi Allah SWT.

Peradaban dan kebudayaan Islam hanya akan tertegak bilamana tertegaknya hukum-hukum dan aturan-aturan Allah. Maka manusia yang bertaqwalah yang paling layak untuk membangunkannya. Hakikatnya, Rasulullah dan para sahabat ialah penegak peradaban Islam yang paling unggul karena manusia di masa itu adalah sebaik-baik manusia. Sabda Rasulullah SAW: “Sebaik-baik manusia ialah mereka yang dikurunku, dan mereka yang mengiringi kurunku, dan mereka yang mengiringi kurun itu.”

Bahkan Allah SWT pun memuji mereka dalam firman-Nya: “Kamu adalah sebaik-baik umat yang diutuskan kepada manusia, menyuruh manusia mengerjakan kebaikan dan mencegah mereka daripada melakukan kemungkaran.”

Karakter suatu budaya dalam kaitannya dengan sistem Islam dan melakukan interaksi timbal balik di dalamnya, dengan artian islam sebagai sebuah sistem ajaran agama akan selalu berdialog dengan budaya lokal di mana islam berada. Islam sebagai koridor aturan terciptanya suatu budaya.

2.2 Fase-fase Perkembangan Budaya Jawa

Signifikansi pembahasan fase-fase pertumbuhan kebudayaan Jawa adalah untuk melihat sejauh mana pergumulan budaya Jawa sebelum dan sesudah Islam datang. Hal ini penting dikaji untuk menguak sistem nilai dan karakteristik budaya Jawa. Berikut ini penulis paparkan pertumbuhan budaya Jawa masa pra Hindu-Budha, masa Hindu-Budha, dan kebudayaan Jawa masa kerajaan Islam.

2.2.1 Kebudayaan Jawa Pra-Hindu-Budha

Data mengenai perkembangan budaya Jawa masa pra Hindu-Budha sangatlah terbatas. Namun, ciri yang menonjol dari struktur masyarakat yang ada pada waktu itu adalah didasarkan pada aturan-aturan hukum adat serta sistem religinya, yaitu animisme-dinamisme yang merupakan inti kebudayaan dan mewarnai seluruh aktivitas kehidupan masyarakatnya. Hukum adat sebagai norma yang mengikat kehidupan mereka begitu kuat sehingga masyarakatnya bersifat statis dan konservatif.

Ciri lain masyarakat Indonesia lama adalah kuatnya ikatan solidaritas sosial dan hubungan pertalian darah. Dalam masyarakat Jawa, pendewaan dan pemitosan terhadap ruh nenek-moyang melahirkan penyembahan ruh nenek-moyang (ancestor worship) yang pada akhirnya melahirkan hukum adat dan relasi-relasi pendukungnya. Dengan upacara-upacara selamatan, ruh nenek-moyang menjadi sebentuk dewa pelindung bagi keluarga yang masih hidup.

Seni pewayangan dan gamelan dijadikan sebagai sarana upacara ritual keagamaan untuk mendatangkan ruh nenek-moyang. Dalam tradisi ritual ini, fungsi ruh nenek-moyang dianggap sebagai ‘pengemong’ dan pelindung keluarga yang masih hidup. Dalam lakon wayang, ruh nenek-moyang dipersonifikasikan dalam bentuk ‘punakawan’. Agama asli mereka adalah apa yang oleh antropolog disebut sebagai ‘religion magic’, dan merupakan sistem budaya yang mengakar kuat dalam masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat Jawa.

Keberadaan ruh dan kekuatan-kekuatan gaib dipandang sebagai Tuhan yang dapat menolong atapun sebaliknya dapat mencelakakan. Oleh karena itu, W. Robertson Smith menyatakan bahwa upacara religi yang biasa dilakukan masyarakat pada waktu itu berfungsi sebagai motivasi, yang dimaksudkan tidak hanya untuk berbakti kepada dewa ataupun untuk mencari kepuasan batiniah yang bersifat individual saja, tetapi juga karena mereka menganggap melaksanakan upacara agama adalah bagian dari kewajiban sosial.

2.2.2 Kebudayaan Jawa Masa Hindu-Budha

Salah satu hal yang patut dicatat dalam proses perkembangan budaya Jawa pada fase ini adalah adanya pengaruh yang kuat dari budaya India (Hindu-Budha). Pengaruh Hindu-Budha dalam masyarakat Jawa bersifat ekspansif, sedangkan budaya Jawa yang menerima pengaruh dan menyerap unsur-unsur Hinduisme-Budhisme setelah melalui proses akulturasi tidak saja berpengaruh pada sistem budaya, tetapi juga berpengaruh terhadap sistem agama.

Cerita Ajisaka yang datang ke pulau Jawa kemudian ia mengubah huruf India ke dalam huruf Jawa dan pemanfaatan tahun Saka untuk mencatat peristiwa-peristiwa sejarah Jawa. Perkembangan ini pada gilirannya membuka jalan bagi proses transformasi budaya melalui gerakan penerjemahan kitab Mahabarata dan Ramayana dari bahasa Sansekerta ke dalam bahasa Jawa kuno. Karena golongan cendekiawan sendiri yang aktif dalam penyebaran unsur-unsur Hinduisme, maka golongan cendekiawan Jawa menjadi kaum bangsawan atau priyayi, yang pada akhirnya ajaran Hindu-Budha mengalami proses Jawanisasi.

Sejak awal, budaya Jawa yang dihasilkan pada masa Hindu-Budha bersifat terbuka untuk menerima agama apapun dengan pemahaman bahwa semua agama itu baik, maka sangatlah wajar jika kebudayaan Jawa bersifat sinkretis (bersifat momot atau serba memuat). Agama Hindu-Budha di negeri asalnya justru saling bermusuhan, tetapi keduanya dapat dipersatukan menjadi konsep agama yang sinkretis, yaitu agama ‘Syiwa-Budha’.

Ciri lain dari budaya Jawa pada saat itu adalah sangat bersifat teokratis. Pengkultusan terhadap raja-raja sebagai titisan dewa adalah salah satu buktinya. Dalam hal ini Onghokham menyatakan: “Dalam kerajaan tradisional, agama dijadikan sebagai bentuk legitimasi. Pada jaman Hindu-Budha diperkenalkan konsep dewa-raja atau raja titising dewa. Ini berarti bahwa rakyat harus tunduk pada kedudukan raja untuk mencapai keselamatan dunia akhirat. Agama diintegrasikan ke dalam kepentingan kerajaan/kekuasaan. Kebudayaan berkisar pada raja, tahta dan keraton. Raja dan kehidupan keraton adalah puncak peradaban pada masa itu.”

Penanaman watak teokratis dan watak supremasi seorang raja kepada rakyatnya dilakukan melalui media hiburan rakyat, yaitu pementasan wayang. Dalam pertunjukan wayang, dieksposisikan tatakrama feodal yang halus dan berlaku di keraton serta lagu-lagu (tembang) merdu beserta gamelannya. Dalam cerita wayang disodorkan pula konsep Binathara dengan segala kesaktiannya dan pusaka-pusaka keraton yang berdaya magis.

Pada konteks perkembangan budaya istana atau keraton, kebudayaan ini dikembangkan melalui “abdi dalem” atau pegawai istana mulai dari pujangga sampai arsitek. Seorang raja mempunyai kepentingan-kepentingan menciptakan simbol-simbol budaya tertentu untuk melestarikan kekuasaannya. Biasanya kebudayaan yang mereka ciptakan berupa mitos-mitos, yang kemudian mitos tersebut dihimpun dalam “babad, hikayat, lontara” dan sebagainya. Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam menciptakan mitos adalah menciptakan budaya simbol-simbol mitologis kerajaan agar rakyat loyal kepada kekuasaan raja.

2.3 Interaksi Islam dan budaya

Islam merupakan konsep ajaran agama yang humanis, yaitu agama yang mementingkan manusia sebagai tujuan sentral dengan mendasarkan pada konsep “humanisme teosentrik”, yaitu poros Islam adalah tauhidullah yang diarahkan untuk menciptakan kemaslahatan kehidupan dan peradaban umat manusia. Prinsip humanisme teosentrik inilah yang akan ditranformasikan sebagai nilai yang dihayati dan dilaksanakan dalam konteks masyarakat budaya. Dari sistem humanisme teosentris inilah muncul simbol-simbol yang terbentuk karena proses dialektika antara nilai agama dengan tata nilai budaya.

Menurut Akbar S. Ahmed, agama termasuk Islam harus dipandang dari perspektif sosiologis sebagaimana yang dilakukan oleh Marx Weber, Emile Durkheim dan Freud. Oleh karena itu, konsep “ilmu al-‘umran” atau ilmu kemasyarakatan dalam perspektif Islam adalah suatu pandangan dunia (world view) bahwa manusia merupakan sentralitas pribadi bermoral (moral person). Selama visi tentang moral diderivasi dari konsepsi al-Qur’an dan Sunnah, maka diskursus antropologis Islam mulai meneliti orisinalitas konsep-konsep al-Qur’an.

Kebudayaan humanisme teosentris dalam Islam bermuara pada konsep pembebasan (liberasi) dan emansipasi dalam konteks pergumulan dengan budaya Jawa melahirkan format kebudayaan baru yang mempunyai dua dimensi, yaitu dimensi keabadian (transendental), dan dimensi temporal. Format kebudayaan Jawa baru tersebut pada akhirnya akan sarat dengan muatan-muatan yang bernapaskan Islam walaupun bentuk fisiknya masih mempertahankan budaya Jawa asli.

Dakwah Islam dilihat dari interaksinya dengan lingkungan sosial budaya setempat, berkembang dua pendekatan, yaitu pendekatan yang non-kompromis, dan pendekatan yang kompromis. Pendekat-an non-kompromis, yaitu dakwah Islam dengan mempertahankan identitas-identitas agama, serta tidak mau menerima budaya luar kecuali budaya tersebut seirama dengan ajaran Islam; sedangkan pendekatan kompromis (akomodatif), yaitu suatu pendekatan yang berusaha menciptakan suasana damai, penuh toleransi, sedia hidup berdampingan dengan pengikut agama dan tradisi lain yang berbeda tanpa mengorbankan agama dan tradisi agama masing-masing (cultural approach).

Tampaknya para wali di Jawa dalam berdakwah lebih memilih pendekatan kompromistik mengingat latar-belakang sosiologis masyarakat Jawa yang lengket tradisi nenek-moyang mereka. Para wali menyusupkan dakwah Islam di kalangan masyarakat bawah melalui daerah pesisir yang jauh dari pengawasan kerajaan Majapahit. Para wali dan segenap masyarakat pedesaan membangun tradisi budaya baru melalui pesantren sebagai basis kekuatan. Kekuatan-kekuatan yang digalang para wali pada akhirnya menandingi kekuatan wibawa kebesaran kerajaan Jawa Hindu yang makin lama makin surut dan akhirnya runtuh.

2.4. Bentuk-bentuk Akulturasi Islam dengan Budaya Jawa

Gambaran dari adanya akulturasi unsur Islam dan Jawa pada akhirnya melahirkan budaya sintesis. Berikut ini sebuah sintesis yang terdapat dalam kitab Babad Tanah Djawi (Sejarah Tanah Jawa) sebagai berikut:

Inilah sejarah kerajaan tanah Jawa, mulai dengan Nabi Adam yang berputrakan Sis. Sis berputrakan Nur-cahyo, nur-cahyo berputrakan nur-rasa, nur-rasa berputrakan sang hyang tunggal…. Istana batara guru disebut Sura laya (nama taman firdaus Hindu).

Dari kutipan naskah Babad Tanah Djawi di atas, tampak jelas adanya akulturasi timbal-balik antara Islam dengan budaya Jawa dengan mengakomodir kepentingan masing-masing. Dalam proses interaksi ini, masuknya Islam di Jawa tidaklah membentuk komunitas baru yang sama sekali berbeda dengan masyarakat sebelumnya. Sebaliknya, Islam mencoba untuk masuk ke dalam struktur budaya Jawa dan mengadakan infiltrasi ajaran-ajaran kejawen dengan nuansa islami.

Pementasan wayang, sering disimbolkan sebagai gambaran kehidupan manusia dalam menemukan Tuhannya. Lakon-lakon yang ditampilkan merupakan ajaran-ajaran syari’at untuk membawa penonton pada nuansa yang religius. Oleh karena itu, wayang dianggap sebagai bagian dari acara religius untuk mengajarkan ajaran-ajaran ilahi. Seorang dalang dipersonifikasikan sebagai ‘Tuhan’ yang dapat memainkan peran dan nasib orang (wayang). Pelukisan ini ditafsirkan secara ortodoks sebagai deskripsi puitis mengenai taqdir.

Dilihat dari intensitas pengamalan ajaran-ajaran agama, masyarakat Jawa terbagai menjadi dua, yaitu kelompok santri dan kelompok abangan. Kelompok santri adalah kelompok masyarakat yang selalu mendasarkan perbuatannya pada ajaran-ajaran agama; sedangkan kelompok abangan masih mendasarkan pandangan dunianya pada tradisi Hindu-Budha atau kebudayaan Jawa. Di Jawa Tengah bagian selatan misalnya, pergulatan santri dan abangan justru didominasi oleh kelompok abangan.

Setelah kerajaan Hindu Jawa Majapahit kehilangan kekuasaannya pada seperempat abad kelimabelas, pada jaman ini pula menandai berkuasanya sejumlah tokoh-tokoh muslim di bidang politik, khususnya di kota-kota pantai utara seperti Ampel (Surabaya), Gresik, Tuban, Demak, Jepara, dan Cirebon. Mereka adalah pemimpin pertama “religius politik” Jawa Islam. Para tokoh agama/wali dalam proses dakwahnya melalui proses pembauran dengan keluarga istana melalui perkawinan atau keturunan.

Dari paparan di atas, tampak jelas karakteristik yang menonjol dari budaya Jawa adalah keraton sentris yang masih lengket dengan tradisi animisme-dinamisme. Di samping itu, ciri menonjol lain dari budaya Jawa adalah penuh dengan simbol-simbol atau lambang sebagai bentuk ungkapan dari ide yang abstrak sehingga menjadi konkrit. Karena yang ada hanya bahasa simbolik, maka segala sesuatunya tidak jelas sebab pemaknaan simbol-simbol tersebut bersifat interpretatif. Di samping itu, tampilan keagamaan yang tampak di permukaan adalah pemahaman keagamaan yang bercorak mistik.

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Proses dialektika Islam dengan budaya lokal Jawa yang menghasilkan produk budaya sintetis merupakan suatu keniscayaan sejarah sebagai hasil dialog Islam dengan sistem budaya lokal Jawa. Lahirnya berbagai ekspresi-ekspresi ritual yang nilai instrumentalnya produk budaya lokal, sedangkan muatan materialnya bernuansa religius Islam adalah sesuatu yang wajar dan sah adanya dengan syarat akulturasi tersebut tidak menghilangkan nilai fundamental dari ajaran agama. Masyarakat Jawa jauh sebelum datang agama yang berketuhanan seperti Hindu-Budha maupun Islam telah memiliki kepercayaan metafisik atau kekuatan di luar dirinya yang termanifestasikan dalam kepercayaan animisme-dinamisme. Setelah agama-agama tersebut datang, masyarakat Jawa terlibat dalam proses akulturasi bahkan sinkretisasi agama dan budaya, dengan dimensi dan muatan agama dan budaya Jawa sendiri. Islam sebagai salah satu agama yang hadir di Jawa juga terlibat dalam pergumulan dengan budaya lokal Jawa, dan oleh karenanya tampilan Islam di Jawa mempunyai karekteristik yang berbeda dengan tampilan di daerah lain. Fenomena ini lahir tidak lepas dari proses islamisasi yang dilakukan oleh para wali dengan menggunakan pendekatan yang memungkinkan terjadinya dialektika antara Islam dengan budaya lokal Jawa. Secara metodologis dalam hukum Islam, adat/tradisi bisa saja dijadikan sebagai dasar penetapan hukum selama adat tersebut tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Berbagai tampilan dari ekspresi keagamaan di tengah-tengah masyarakat muslim Jawa dalam berbagai bentuknya adalah bukti nyata adanya dialektika Islam dengan budaya Jawa khususnya pada aspek formal dari budaya, sedangkan aspek material diubah dengan semangat/ajaran Islam.

3.2 Saran

Dengan makalah ini kami berharap kita senantiasa menjaga, menjunjung tinggi, serta mewarisi budaya Islam terutama budaya sehari-hari tanpa melanggar ketentuan-ketentuan yang berlaku, tidak keluar dari norma-norma yang ada terutama norma Islam, dan budaya yang sudah ada tidak luntur karena adanya budaya baru dari luar sana sehingga anak serta cucu-cucu kita tetap merasakan budaya leluhur yang penuh akan nilai-nila kebaikan. Lestarikan budaya kita karena budaya adalah cerminan pemersatu masyarakat dari individu-individu yang beragam.



DAFTAR PUSTAKA

Tim Penyusun Kamus. 1999. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi kedua. Cetakan 10. Jakarta : Balai Pustaka.

Effendi, DR. Ing. Abdurrahman Riesdam & DR. Ing. Gina Puspita. 2007. Membangun Sains & Teknologi Menurut Kehendak Tuhan. Jakarta : Giliran Timur

http://www.scribd.com/doc/20248408/Dialektika-Islam-Dengan-Budaya-Jawa-txt

http://ibda.files.wordpress.com/2008/04/2-dialektika-islam-dengan-budaya-jawa.pdf

http://ibda.files.wordpress.com/2008/04/6-proses-akulturasi-islam-dengan-budaya-jawa.pdf

http://www.heritageofjava.com/ebook/Keunikan_Interaksi_Islam_dan_Budaya_jawa.pdf

http://larassejati.multiply.com/reviews/item/41

http://kawansejati.ee.itb.ac.id/aggregator

http://panciso.blogspot.com/2009/12/filosofi-tahlilan-mitung-dina.html

http://hbis.wordpress.com/2009/12/20/mistisisme-simbolik-dalam-tradisi-islam-jawa/

Baca selengkapnya »»  

Fungsi Al-Qur'an

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Al-Qur’an sebagai sebuah kitab bukanlah nama dari satuan-satuan terpisah, melainkan nama dari semua yang ada di dalamnya, kumpulan ayat-ayatnya, urutan-urutan suratnya, dan juz-juznya, serta ajaran-ajaran yang terkandung dari setiap lafadz, frasa dan kalimatnya. Menurut Asy-Suyuthy susunan Al-Qur’an dari ayat, surat, dan juz tersebut merupakan cirri khas Al-Qur’an yang tidak ditemukan dalam Kitab-kitab lain yang ada pada masa jahiliyah. Al-Qur’an selanjutnya dipergunakan untuk menunjukkan kalam Allah swt yang diwahyukn kepada Nabi Muhammad saw. Al-Qur’an sebagai sumber agama Islam terdiri dari tiga bagian yaitu : fungsi Al-Qur’an, Al-Qur’an sebagai firman Allah swt, dan ‘ulum Al-Qur’an dan tafsir.

B. Rumusan Masalah

1. Apa saja fungsi Al-Qur’an ?

2. Apa yang dimaksud Al-Qur’an sebagai firman Allah swt ?

3. Apa definisi ‘ulum Al-Qur’an dan tafsir ?

C. Tujuan

1. Mengetahui tentang fungsi Al-Qur’an.

2. Mengetahui tentang Al-Qur’an sebagai firman Allah swt.

3. Mengetahui definisi ‘ulum Al-Qur’an dan tafsir.




BAB II

PEMBAHASAN

A. Fungsi Al-Qur’an

Dari sudut isi atau subtansinya, fungsi Al-Qur’an adalah :

1. Al-Huda (petunjuk)

Dalam Al-Qur’an terdapat tiga kategori tentang posisi Al-Qur’an sebagai petunjuk.

i. Petunjuk bagi manusia secara umum (Q.S Al-Baqarah : 185).

ii. Petunjuk bagi orang yang bertakwa (Q.S Al-Baqarah : 2, Q.S Ali Imran : 138).

iii. Petunjuk bagi orang yang beriman (Q.S Fushilat : 41, Q.S Yunus : 57)

2. Al-Furqan ( pembeda)

Al-Qur’an juga berfungsi sebagai pembeda, yaitu pembeda antara yang haq dan yang bathil, antara yang benar dan yang salah. (Q.S Al-Baqarah : 185)

3. Asy-Syifa’ (obat)

Yaitu Al-Qur’an berfungsi sebagai obat bagi penyakit-penyakit yang ada dalam qalbu atau psikolog. (Q.S Yunus : 57).

4. Al-Mu’izzah (nasehat)

Yaitu Al-Qur’an berfungsi sebagai nasehat bagi orang-orang yang bertakwa (Q.S Ali Imran : 138)

Sedangkan fungsi Al-Qur’an dari pengalam dan penghayatan terhadap isinya bergantung pada kualitas ketakwaan individu yang bersangkutan.

B. Al-Qur’an sebagai firman Allah SWT.

Hakekat Al-Qur’an yaitu bahwa Al-Qur’an merupakan wahyu atau kalam Allah swt yang disampaikan kepada Nabi Muhammad saw. Isinya penuh dengan ilmu yang terbebas dari keraguan (Q.S Al-Baqarah : 2), kecurangan (Q.S An-Naml : 1), pertentangan (Q.S An-Nisa’ : 82), kejahilan (Q.S Asy-Syu’ara : 210) dan penjelmaan dari kebenaran, keseimbangan pemikiran dan karunia (Q.S Al-An’am : 155).

Sebagai wahyu, Al-Qur’an bukan pikiran dan ciptaan Nabi Muhammad saw, oleh karena itu, mereka yang mengatakan bahwa Al-Qur’an itu pikiran dan ciptaan Muhammad, tidak benar dan tidak dapat dipertanggung jawabkan.

Perdebatan sekitar orentisitas Al-Qur’an sebagai firman Allah swt telah terjadi ketika Al-Qur’an diturunkan. Oleh karena itu, Allah swt menantang kepada para penentang Al-Qur’an untuk membuat satu surat yang semisal dengan Al-Qur’an (Q.S Al-Baqarah : 23). Tantangan tersebut disertai pula dengan ancaman berupa kepastian bahwa manusia tidak akan mampu menciptakan Al-Qur’an (Q.S Al-Baqarah : 24).

C. ‘Ulum Al-Qur’an dan Tafsir

Sejarah dan proses pewahyuan Al-Qur’an tidak diturunkan secara sekaligus, tetapi melalui tahapan-tahapan tertentu secara periodik, sedikit demi sedikit dan ayat demi ayat. Hikmah pewahyuan ini adalah untuk memberikan pemahaman bahwa setiap ayat Al-Qur’an tidak hampa sosial. Sebagian ayat Al-Qur’an merupakan jawaban terhadap berbagai persoalan sosial yang ada dalam kehidupan manusia. Tenggang waktu pewahyuan berlangsung selama kurang lebih 23 tahun, yang terbagi menjadi dua fase. Pertama , berhijrah ke Madinah selama 13 tahun. Kedua, ketika Rasulullah berada di kota Madinah selama 10 tahun. Menurut M. Quraish Shaihab (1996, 4), kosa kata yang terdapat dalam Al-Qur’an sebanyak 77.439 kata dengan jumlah huruf 323.015. jumlah ayat tersebut dibagi menjadi 554 ruku’ yaitu ditandai dengan huruf ‘ain. Selanjutnya dibagi menjadi 30 juz dan 114 surat. Ke-114 surat yang ada dalam Al-Qur’an dilihat panjang dan pendeknya terbagi menjadi 4 kelompok, yaitu :

1. Al-Sab’ah at-tiwal yaitu tujuh surat yang panjang.

2. Al-Mi’un yaitu surat-surat yang memuat sekitar 100 ayat lebih.

3. Al-Matsani yaitu surat-surat yang isinya kurang dari 100 ayat.

4. Al-Mufashal yaitu surat-surat pendek.

Beberapa cara Allah swt menurunkan Al-Qur’an kepada Nabi Muhammad saw :

1. Malaikat memasukkan wahyu ke dalam hati Nabi.

2. Malaikat menampakkan dirinya kepada Muhammad berupa seorang laki-laki.

3. Malaikat menampakkan dirinya kepada Muhammad dalam rupanya yang asli.

4. Wahyu datang kepada Nabi Muhammad saw seperti gemerincingnya lonceng.

Adanya ayat-ayat Al-Qur’an yang masih dalam bentuk garis besar memberikan peluang kepada para mufassir untuk menjelaskannya. Dalam menafsirkan Al-Qur’an, mereka tentu saja menggunakan kaidah-kaidah yang sebagian diambil dari ‘ulum Al-Qur’an. Secara bahasa, tafsir berarti penjelasan dan keterangan, sedang secara istilah ilmu tafsir, menurut Abu Hayan ialah ilmu yang membahas cara melafadzkan lafadz-lafadz Al-Qur’an serta menerangkan makna yang dimaksudnya sesuai dengan petunjuk yang dzahir sebatas kemampuan manusia. Beberapa syarat yang harus dimiliki oleh seorang muslim agar dapat menafsirkan Al-Qur’an adalah :

1. Mengetahui dan memahami bahasa Arab dengan seisinya.

2. Mengetahui asbabunnuzul Qur’an (sebab-sebab turunnya).

3. Mengetahui ilmu qira’ah.

4. Mengetahui tauhid.

5. Mengetahui ilmun nasikh dan mansukh.

6. Mengetahui hadist-hadist Rasul.

Baca selengkapnya »»  

Seputar THAHARAH (Bersuci)



BERSUCI

Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah

Fiqih

Dosen pengampu : Fairus Sabiq, SHI

Disusun oleh :

Muhamad Abdullah Azzam (113 111 244)

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SURAKARTA

FAKULTAS TARBIYAH

JURUSAN PAI

2011/2012



Baca selengkapnya »»  

Pengertian QIRO'AT dan AHLU QIRO'AT



BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pada intinya ilmu qiroat mempelajari manhaj (cara, metode) masing-masing qurro’ sab’ah atau ‘asyroh dalam membaca Al-Qur’an. Hal ini biasa disebut dalam istilah qiroat dengan “ushul al-qori”. Kemudian satu hal lagi yang termasuk inti dalam ilmu qiroat adalah bagaimana para qurro’ sab’ah atau ‘asyroh membaca lafadh-lafadh tertentu dalam Al-Qur’an diluar manhaj mereka.

Untuk membaca Al-Qur’an dengan suatu qiroat atau riwayat diperlukan penguasaan ushul al-qori’ dan farsy al-huruf secara bersama. Karena jika hanya mengusai ushul al-qori tanpa farsy al-huruf atau mengusai farsy al-huruf saja sedangkan ushul al-qori’nya setengah-setengah, kemudian membaca Al-Qur’an dengan qiroat tertentu, akan kacau jadinya. Bukan Al-Qur’an dari sisi Allah swt yang ia baca, melainkan Al-Qur’an “made in “ dia sendiri. Dan jelas ini haram hukumnya! Biasanya orang yang membaca dengan qiroat, pasti pernah bertalaqqi langsung dengan syekh qiroat.

B. Rumusan Masalah

1. Apakah yang dimaksud dengan Qiroat ?

2. Apa macam-macam jenis Qiroat ?

3. Apa faedah dari keberagaman Qiroat ?

4. Apa syarat sah diterimanya Qiroat ?

5. Siapa saja Imam Ahlu Qiroat ?





BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian

Menurut bahasa, qiroat jamak dari qiroah yang merupakan isim mashdar dari qoroa. Qiroah artinya bacaan.

Menurut istilah adalah ilmu yang mempelajari tata cara menyampaikan atau membaca kalimat-kalimat Al-Qur’an dan perbedaan-pebedaan yang disandarkan kepada orang yang menukilnya.

Qiroat ini didasarkan kepada sanad-sanad yang bersambung kepada Rasulullah saw. Periode Qurra’ yang mengajarkan bacaan Al-Qur’an kepada orang-orang menurut cara mereka msing-masing adalah dengan berpedoman kepada masa para sahabat.

B. Macam-macam Jenis Qiroat

I. Dari segi sanad :

Imam As-Suyhuti menukil dari Ibnu Jazari, bahwasannya qiroat dari segi sanad ada enam macam :

1. Mutawatir

Yaitu qiroat yang diriwayatkan oleh orang banyak dari orang banyak yang tidak mungkin terjadi kesepakatan di antara mereka untuk berbohong.

2. Masyhur

Yaitu qiroat yang sanadnya bersambung sampai kepada Rasulullah saw tetapi hanya diriwayatkan oleh seorang atau beberapa orang yang adil dan tsiqoh.



3. Ahad

Yaitu qiroat yang sanadnya bersih dari ‘ilat atau cacat tetapi menyalahi rosm Utsmani dan tidak sesuai dengan kaidah bahasa arab.

4. Syadz

Yaitu qiroat yang cacat sanadnya dan tidak bersambung sampai Rasulullah SAW.

5. Maudlu’

Yaitu qiroat yang dibuat-buat dan disandarkan kepada seseorang tanpa dasar.

6. Al-Mudroj

Yaitu qiroat yang ditambahkan ke dalam qiroat sebagai penafsiran. Seperti qiroah Sa’ad bin Abi Waqqosh :

II. Dari segi jumlah :

Sebutan untuk jumlah qiroat ada bermacam-macam. Ada qiroat enam, qiroat tujuh, qiroat delapan, qiroat sepuluh, qiroat sebelas, qiroat tiga belas dan qiroat empat belas. Tetapi dari sekian macam jumlah qiroat yang dibukukan, hanya tiga macam qiroat yang terkenal. Yaitu :

1. Qiroat sab’ah :

Adalah qiroat yang dinisbatkan kepada para imam qurro’ yang tujuh yang masyhur[1]. Mereka adalah :

· Qiroat Ibnu Katsir [2],

· Qiroat Ibnu ‘Amir [3],

· Qiroat Nafi’ [4],

· Qiroat Abu ‘Amru [5],

· Qiroat ‘Ashim [6],

· Qiroat Hamzah dan,

· Qiroat Kisa’i.

2. Qiroat ‘asyroh :

Adalah qiroat sab’ah di atas ditambah dengan qiroat lagi, yang disandarkan kepada :

· Qiroat Abu Ja’far

· Qiroat Ya’qub dan,

· Qiroat Khalaf Al-‘Asyir.

3. Qiroat arba’ ‘asyroh :

Adalah qiroat yang lalu ditambah dengan empat qiroat lagi, yang disandarkan kepada :

· Ibnu Muhaishin[7],

· Al-Yazidi,

· Hasan Al-Bashry[8] dan,

· Al-A’masy.

Dari tiga macam qiroat ini, qiroat sab’ahlah yang paling masyhur dan terkenal, menyusul qiroat ‘asyroh.


C. Faedah-faedah Keberagaman Qiroat

1. Menunjukkan betapa terjaganya dan terpeliharanya Kitab Allah SWT dari perubahan dan penyimpangan, padahal Kitab ini mempunyai sekian banyak segi bacaan yang berbeda-beda,

2 Meringankan umat Islam dan memudahkan mereka untuk membaca Al-Qur’an,

3 Merupakan keutamaan dan kemuliaan umat Muhammad saw atas umat-umat pendahulunya. Karena kitab-kitab yang dahulu turun hanya dengan satu segi dan dalam satu qiroah, berbeda dengan Al-Qur’an,

4 Membantu dalam bidang tafsir, dan

5 Meluruskan aqidah sebagian orang yang salah dalam penafsiran Al-Qur’an.


D. Syarat-syarat Sahnya Qiroat

Para ulama menetapkan tiga syarat sah dan diterimanya qiroat, yaitu :

1. Setiap qiroat yang sesuai dengan bahasa arab meskipun dari satu segi.

2. Sesuai dengan salah satu mashahif Utsmaniyah walaupun hanya kemungkinan.

3. Serta sanandnya shohih.

Itulah qiroat shohihah yang tidak boleh diingkari dan ditolak. Karena qiroat yang memenuhi tiga syarat ini termasuk dari ahruf sab’ah. Baik itu dari para imam qurro’ yang tujuh ataupun yang lainnya. Dan kapan qiroat itu tidak memenuhi salah satu rukun dari tiga rukun ini, berarti dia adalah qiroat yang lemah atau syadzdzah atau bathil.


E. Ahlu Qiroat

Para Ahli Qira’at menurut al-Zarqani adalah :

"Qira'at yang mutawatir semuanya dikutip dari para qorri’ yang hafal Al-Qur’an dan terkenal dengan hafalan serta ketelitiannya". Mereka ialah imam-imam qira'at yang masyhur yang meyampaikan qira'at sesuai dengan yang mereka terima dari sahabat Rasulullah saw. Mereka memiliki keutamaan ilmu dan pengajaran tentang Kitabullah Al-Qur’an sebagaimana sabda Rasulullah saw :

"Sebaik-baiknya orang diantara kalian adalah orang yang mempelajari Al-Qur’an dan mengajarkannya[9]".

1. Abu ‘Amr bin al-‘Alaa’, gurunya para perawi. Dia adalah Ziyad bin al-‘Alaa’ bin ‘Ammar al-Mazini al-Bashri rahimahullah. Ada yang mengatakan bahwa namanya adalah Yahya, ada lagi yang mengatakan bahwa namannya adalah kunyahnya (Kunyah: nama yang didahului dengan kata Abu atau Ibnu). Dia wafat di Kuffah pada tahun 154 H.

2. Ibnu Katsir (bukan Ibnu Katsir ahli tafsir), beliau adalah ‘Abdullah bin Katsir al-Makkiy, dia adalah salah seorang Tabi’in, dan wafat di Makkah tahun 120 H.

3. Nafi’ al-Madaniy rahimahullah, dia adalah Abu Ruwaim Nafi’ bin ‘Abdirrahman bin Abi Nu’aim al-Laitsiy, berasal dari Ashfahan, dan wafat di Madinah tahun 169 H

4. Ibnu ‘Amir asy-Syaami dia adalah ‘Abdullah bin ‘Amir al-Yahshubiy, seorang hakim di Dimasyq (Damaskus) pada masa kekhalifahan al-Walid bin ‘Abdil Malik. Dia diberi nama kunyah Abu ‘Imran, dan dia termasuk salah seorang Tabi’in. Dia wafat di Dimasyq tahun 118 H.

5. ‘Ashim al-Kuufiy dia adalah ‘Ashim bin Abi an-Najuud, ada yang menamainya Ibnu Bahdalah, Abu Bakr dan dia adalah salah seorang Tabi’in. Wafat di Kuffah tahun 128 H.

6. Hamzah al-Kuufiy dia adalah Hamzah bin Habib bin ‘Imarah az-Zayyat al-Faradhiy at-Taimiy, diberi nama kunyah Abu ‘Imarah. Dia wafat di Bahlawan pada masa kekhilafahan Abu Ja’far al-Manshur tahun 156 H.

7. al-Kisaa’i al-Kuufiy dia adalah ‘Ali bin Hamzah, Imam ahli Nahwu (tata bahasa Arab) kalangan Kufiyun, diberi nama kunyah Abul Hasan. Dinamakan al-Kissaa’i karena dia ihram memakai Kisaa’ (kain penutup Ka’bah). Dia wafat di Ranbawaih salah satu daerah di perkampungan ar-Ray, ketika hendak menuju ke Khurasan bersama ar-Rasyid tahun 189 H.

Adapun tiga imam Qiro’at sebagai pelengkap (yang menggenapkan) Qiro’at sepuluh adalah :

1. Abu Ja’far al-Madaniy, dia adalah Yazid bin al-Qa’qa’, wafat di Madinah pada tahun 128, dan ada yang mengatakan tahun 132 H.

2. Ya’qub al-Bashriy, dia adalah Abu Muhammad Ya’qub bin Ishaq bin Zaid al-Hadrami, wafat di Bashrah pada tahun 205 H, dan ada yang mengatakan tahun 185.

3. Khalaf, dia adalah Abu Muhammad Khalaf bin Hisyam bin Tsa’lab al-Bazzaar al-Baghdadiy, wafat tahun 229 H, dan ada yang mengatakan bahwa tahun kematiannya tidak diketahui.

Dan sebagian mereka (para ulama) menambahkan empat Qira’at lagi di samping kesepuluh Qira’at di atas, yaitu :

1. Qira’at al-Hasan al-Bashriy, mantan budak kaum Anshar, salah seorang Tabi’in senior yang terkenal dengan kezuhudannya. Dia wafat tahun 110 H.

2. Qira’at Muhammad bin ‘Abdirrahman yang dikenal dengan nama Ibnu Muhaishin wafat tahun 123 H. Dan dia adalah salah satu guru dari Abi ‘Amr.

3. Qira’at Yahya bin al-Mubarak al-Yazidi an-Nahwiy, dari Baghdad, dan ia mengambil (belajar Qiro’at) dari Abi ‘Amr dan Hamzah. Ia wafat tahun 202 H.

4. Qira’at Abil Farj Muhammad bin Ahmad asy-Syanbuudziy. Dia wafat tahun 388 H.





BAB III

KESIMPULAN

1. Qiroat adalah ilmu yang mempelajari tata cara menyampaikan atau membaca kalimat-kalimat Al-Qur’an dan perbedaan-pebedaan yang disandarkan kepada orang yang menukilnya.

2. Macam jenis Qiro’at terbagi dua, dari segi sanad dan dari segi jumlah.

  • · Dari segi sanad mencakup : mutawatir, masyhur, ahad, syadz, maudlu’, dan al-mudroj.

  • · Dari segi jumlah : qiroat enam, qiroat tujuh, qiroat delapan, qiroat sepuluh, qiroat sebelas, qiroat tiga belas dan qiroat empat belas. Akan tetapi yang terkenal ialah : qiroat sab’ah, qiroat ‘asyroh, dan qiroat arba’ ‘asyroh.

3. Faedah keberagaman Qiroat :

a. Meringankan umat Islam dan memudahkan mereka untuk membaca Al-Qur’an,

b. Merupakan keutamaan dan kemuliaan umat Muhammad saw atas umat-umat pendahulunya.

c. Menunjukkan betapa terjaganya dan terpeliharanya Kitab Allah SWT.

d. Membantu dalam bidang tafsir.

e. Meluruskan aqidah .


4. Syarat sah diterimanya suatu Qiroat :

a. Sesuai dengan bahasa arab meskipun dari satu segi.

b. Sesuai dengan salah satu mashahif Utsmaniyah walaupun hanya mendekati.

c. Benar (shohih) sanadnya.




DAFTAR PUSTAKA

Al Qathan, Manna’. 2008. Pengantar Study Ilmu Al-Qur’an. Jakarta: Pustaka Al Kautsar.

As-Shalih, Subhi, Dr. 1995. Membahas Ilmu-Ilmu Al Qur’an. Jakarta: Pustaka Firdaus.

Hasanuddin. 1995. Perbedaan Qiroat dan Pengaruhnya Terhadap Istinbath Hukum Al Qur’an. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Zulfidah A, Abduh. 1996. Al Qur’an dan Qiroat. Jakarta: Pustaka Al Kautsar.


 _______________________
[1] Lihat Al-Itqan. I/72-73

[2] Lihat Tarjamah-nya di dalam Thubaqatul-Qurra, I hal 443.

[3] Lihat Tarjamah-nya di dalam Thubaqatul-Qurra, II hal 330-334.

[4] Lihat Tarjamah-nya di dalam Thubaqatul-Qurra, I hal 443

[5] Lihat Tarjamah-nya di dalam Thubaqatul-Qurra, I hal 288-292.

[6] Lihat Tarjamah-nya di dalam Thubaqatul-Qurra, I hal 443

[7] Ibnu Muhaishan belajar kepada Mujahid dan Darbas. Kepadanya Abu ‘Amr berguru.

[8] Nama lengkapnya adalah al-Hasan bin Abilhasan Yassar al-Bashri, dari kalangan Anshar. Kemudian menjadi tokoh kenamaan kaum Tabi’in dan termasuk ulama Tabi’in yang terkenal kezuhudan hidupnya.

[9] HR.Bukhori
Baca selengkapnya »»